Sabtu, 03 Desember 2011

Not to give up: Part 2

Kisah ini lanjutan dari sebelumnya.

Terkadang, saya merasa saya konyol. Emang iya kali ya?? Hehe.
Tapi yang kali ini, lebih parah dari kisah saya waktu minta ditemani pak satpam lewat kamar jenazah. Konyol yang ini, hampir membuat saya tidak lulus ujian dan tidak bisa ikut ujian logbook KKD.

Bagaimana ceritanya?

Jadi, menyambung postingan sebelumnya. Saya bingung, apa yang akan saya lakukan untuk 2 kloter ujian EKG terakhir? Mungkinkah saya harus berdiam diri, membiarkan teman-teman saya yang muslimah pasrah? Alias, saya juga pasrah?
Bukan enni namanya kalau pesimis. :)

Esoknya, hari Minggu. Saya bertemu dengan dua orang teman saya, saya berkunjung ke kosannya. Lalu saya ceritakan tentang kegalauan saya, yang hampir membuat saya insomnia, depresi, hingga air mata ngocor g karuan. Yang lebih membuat saya galau adalah, karena saya belum ada dalam dua kloter terakhir itu.

Saya minta pendapat mereka, apa menurut mereka diam dan berhenti itu keputusan yang terbaik? Saya masih ingin berjuang, teman. Maukah kalian mengusahakannya bersamaku? Saya akan patah semangat, kalau sendirian.

Akhirnya, kami bertiga memikirkan solusi yang bisa dilakukan dalam waktu singkat. Kurang dari 24jam.

Keputusan terakhir, kami akan membuat surat pernyataan yang ditandatangani oleh semua wakil teman dari 5 agama. Kira-kira isinya "Bahwa kami yang bertanda tangan di bawah ini, setuju dengan adanya pemisahan OP muslimah dan non muslimah atas dasar ini dan itu."

Surat yang saya buat dalam semalam. Lalu saya membagi tugas dengan teman saya yang dua orang tadi, untuk memforward sms ke wakil dari 18 kelompok diskusi, yang tugasnya adalah menginformasikan kepada teman2 di kelompoknya terkait tujuan hal ini. Dan kalau bersedia untuk berpartisipasi, silakan menandatangani lampiran yang ada di masing2 surat pernyataan tersebut.

Singkatnya, surat pernyataan yang telah ditandatangani oleh 5 orang wakil akan difotokopi 18 rangkap, yang akan dibagikan ke wakil kelompok diskusi. Bersama dengan surat pernyataan, akan dilampirkan form persetujuan teman2 di masing2 kelompok. Kebetulan hari senin diskusi dari jam8-10. Jam 10 ujian EKG. Masih ada waktu pagi hari.

Saya harap2 cemas, sangat cemas. Gimana tidak? Kalau langkah saya ini salah, teman2 angkatan juga menanggung akibatnya. Terbayang wajah dokter2 itu.. Seraaaaam..

Dua orang teman saya itu yang akan mengeprint surat, lalu saya akan fotokopi. Sejak semalam, tergambar dalam pikiran saya, saya diskusi jam8, tak ada kuliah pagi.
Sesampainya di kampus, jam 7, saya langsung menuju parasit, duduk di depan lab menunggu dua orang teman saya tersebut. Saya deg-degan, karena tak punya banyak waktu. Tapi berusaha tetap terlihat tenang dan bersahaja (hehe).
Sudah setengah jam berlalu, sms saya tak dibalas. Saya jadi khawatir ada apa2.
Yang anehnya lagi, kok parasit masih sepi sekali, padahal biasanya jam segini sudah ramai siap2 mau diskusi jam8.
15 menit kemudian, seorang teman datang. He shocked me!

"Lhoh en, bolos kuliah ya?"
"Lhoh, emang ada kuliah ya?"
"Adaaa, kalo gue emang bolos. Males dateng pagi2."
"Hwaaa, aku g ada niatan bolos, tapi g liat jadwaaal. Kirain masuk jam8."
"Ya ampun. Dari kapan di sini?"
"Jam 7."
"Hahahaha" -____-

Itu kejadian konyol di pagi hari. Lalu jam 8 tepat, parasit mulai ramai, teman2 yang usai kuliah. Heboh lah mereka.
"En, ke mana tadi g keliatan?"
"Enni tadi di mana?"
"Enni bolos ya?"
Hiks. Itu kali kedua atau ketiga saya bolos kuliah di semester 4. (saya jarang bolos lhoh)

Lalu datanglah teman yang saya nanti2 itu.
"Gimana? Udah diprint suratnya?"
"Udah en, tapi belum difotokopi. Maaf ya, tadi g bales sms krn baru kuliah."
Jeng jeng jeng, hampir terisak. Jam sekian, fasil diskusi sudah lengkap di ruang diskusi masing2. Masak saya mau cabut lagi...
Bismillah.
Akhirnya saya diskusi. Saya hanya bisa pasrah, rencana semalam pupus sudah. Tak mungkin lagi saya dapat tanda tangan, tak mungkin lagi saya berjuang dalam waktu yang singkat ini. Saya merasa buntu ya Allah. Haruskah saya diam saja? Tak adakah yang bisa saya usahakan?

Terkadang saya memang merasa sulit untuk percaya pada orang lain, tapi saya selalu berusaha untuk percaya. Karena ketika saya menganggap saya bisa menyelesaikan semuanya sendiri, itu artinya saya egois dan tak menghargai orang lain. Percayalah, ini hanya karena salah paham.

Saya tak tenang, selama diskusi saya banyak diam. Saya berpikir, apa lagi yang bisa saya lakukan??
Diskusi selesai jam sembilan lima belas. Teman-teman sekelompok masih ngobrol ini itu seusai diskusi. Saya ga kuaaat.
Diajak bicara saya cuma senyum. Ditanya saya bilang g ada apa2.

Akhirnya mereka bertanya, "Enni kenapa?"
Saya langsung kabur dari ruang diskusi, setengah lari. Ya Robbi, kenapa air mata ini tak bisa ditahan lagi. Tanpa sadar, kaki saya melangkah menuju mushola. Mungkin karena di sana saya merasa Allah lebih dekat. :')

Saya dengar, teman saya masih memanggil2, "Enni, enni...!"
Dua orang dari mereka menyusul langkah saya.
Saya terduduk di depan mushola, diapit oleh dua orang yang menyusul tersebut.
Menahan tangis, menghapus bekas air mata yang jatuh di jalan.

"Enni kenapa?"
"Ga ada apa2.."
"Ga en, enni harus cerita."
Meledak dalam hening.

"Aku ga tau lagi harus gimana. Aku g mau pasrah, aku tau aku masih bisa berbuat sesuatu. Tak peduli, teman2 akan pikir aku kurang kerjaan. Tapi selama ini untuk kebaikan, aku akan perjuangkan."
"Iya enn, kita setuju, kita semua pasti akan bantu."
Saat itu, saya memang sedang sulit berpikir jernih.

Hingga akhirnya ada yang mengusulkan.
"Gini aja en, sekarang kan surat pernyataannya udah ada. Form tanda tangan teman2 juga ada. Mending sekarang kita minta tanda tangan ke lima orang itu trus minta tanda tangan ke temen2 yang se-kloter ujian sama enni."
Yap, karena mendesak, jadi hanya persetujuan teman2 satu kloter yang sangat diperlukan.
Akhirnya kami mulai bergerak, dibantu dua orang teman saya yang turut merumuskan ide semalam.

Meskipun banyak pertanyaan, tapi semua teman2 paham, dan sangat mendukung. Responnya sangat positif.
Bahkan Ketua Angkatan saya sangat mendukung.
"Gimana En? Mana yang harus gue tandatangani? Semangat ya! Pokoknya kalo ada apa2, atau ada masalah, langsung hubungi gue."

Alhamdulillah sudah sebagian teman menandatangani form sederhana tersebut. Setidaknya, kalau kejadian muslimah menjadi OP non muslimah lagi, saya punya bukti persetujuan untuk menolak.
Bahkan beberapa teman yang muslimah menanyakan.
"En gimana ni? Aku takut."
"Tenang, aku udah punya ini."

Menginjak jam 10, dua orang teman baik saya pergi, karena harus kkd di tempat lain.
Saya khawatir bukan main. Saya cemas. Saya mencemaskan teman-teman saya. Kalau apa yang saya bayangkan terjadi pada saya, saya tegas akan menolak. Tapi bagaimana kalau terjadi pada teman saya yang mereka segan menolak atau terlalu bertoleransi?

Saya bersama 27 orang teman saya (4 kelompok untuk satu kloter) dikarantina di dalam lab parasit. Ujian diadakan di skill lab parasit, dipanggil secara acak 4 orang 4 orang.
Yang lain sibuk belajar, mengulang teori pemasangan EKG. Saya masih berjuang meminta teman2 yang belum mengisi form untuk mengisi.

Ya Allah, mungkin mereka heran liat saya ya. Kenapa saya sebegitu kekeuh nya melakukan hal semacam ini? :'(

Teman-teman perempuan berkumpul di ujung, yang laki2 di ujung lainnya. Saya di tengahnya, ditemani beberapa teman yang berusaha meyakinkan dan menenangkan.

Sejauh ini, masih baik2 saja. Empat orang dipanggil, lalu dipanggil lagi, dan lagi. Belum kejadian. Kalau sampai kejadian, saya sudah pesan ke mereka, langsung bilang ke saya.

Jujur, pikiran saya kacau saat itu. Impuls nya konslet.
Hingga saat dipanggil nama saya. Enninurmita Hazrudia. Sejak masuk ke lorong ruang skill lab, Bu Frida sudah ngetag saya. Dari jauh beliau melambai menyuruh saya masuk ke ruang yang beliau jaga.
Tapi eh tapi, kaget bukan main waktu itu, setelah saya melihat seorang teman saya yang non muslim ada di dalam. Pintu pun ditutup oleh Bu Frida. Saya semakin kaget.
Tak bisa berpikir lagi, di dalam saya akan jadi OP atau jadi PEMERIKSA ya??
Saya terus berpikir, saya akan jadi OP. Spontan saya berkata,
"Bu Frida, saya mau tuker boleh?"
"Tuker ke mana? Gak papa, di sini aja sama ibu ya."
"Tapi bu, saya maunya sama yang muslim."
"Kenapa? Di sini kan ada ibu, gak papa. Nanti dibantuin."
"Bukan bu, saya maunya sama yang muslim aja."

Bu Frida keluar, membuka pintu ruang sebelah. Tapi karena teman di sebelah sudah membuka ba*u-nya, terpaksa saya tak bisa pindah.
"Yang di sebelah udah mulai, kamu ga bisa pindah."
"Tapi bu, saya mau pindah aja. Saya ga bisa di sini bu."
"Udah gak papa ya. Kalo g mau, nanti malah ga ujian."

Heboh di luar.

Bapak2 yang manggil giliran, "Kenapa bu?"
Bu Frida, "Ini g mau ujian. Panggil satu orang lagi pak."
Saya, "Saya mau ujian bu, tapi maunya sama yang muslim aja."
"Ga bisa, udah kamu buat surat pernyataan aja g mau ikut ujian. Kalo udah, bilang ke ibu biar ditanda tangani. Trus kamu ngadep ke kodik faal. Nanti kasusnya kayak temen kamu yang satu itu, g usah ujian aja."
(Kodik Faal?? Jeng jeng??)

"Tapi bu, saya mau ujian bu."
"Tapi tadi ga mau."
"Udah kamu keluar aja kalo gitu."
"Nanti saya dipanggil lagi ya bu?"
"Engga, udah g usah ujian aja, buat suratnya ya."

Teman saya yang menggantikan datang.

"Kamu masuk dulu ya."
"Bu Frida, kalau bu Frida mau buktinya, saya ada surat pernyataan yang sudah dibuat dan isinya temen2 semua setuju kalo kita maunya dipisah yang muslimah sama non muslimah."
Bu Frida terdiam, tak tahu harus bicara apa saat saya menyodorkan surat yang sudah agak lecek tersebut.
"Udah kamu tunggu di luar aja sana."
"Baik bu."

Berharap akan dipanggil lagi, saya menuju ke dalam ruang karantina.
Teman-teman kaget.

"Enni kenapa? Kok balik lagi?"
"Iya, ga boleh ikut ujian."
"Kenapa? Tadi sama siapa?"
Lalu kuceritakan kalau aku kaget melihat sosok seseorang di dalam. Lalu tiba-tiba lupa, sebenarnya saya masuk jadi OP atau jadi PEMERIKSA.
Ternyata teman-teman yang tersisa juga lupa mereka jadi OP dulu atau jadi PEMERIKSA dulu. hehe.

Tapi mereka semua baik, berusaha menenangkan saya.
"Tenang en, pasti boleh ujian kok. Nanti kita bilangin sama-sama." (terharu)
"Iya, makasi ya."

Bapak pengabsen datang lagi, lalu saya tanya.
"Bapak, jadi saya boleh ikut ujian kan pak?"
"Kamu enni tadi ya?"
"Iya pak."
"Bentar ya, saya tanyakan ke Bu Frida lagi. Kamu tenang aja."
"Makasi ya pak."

Beberapa saat kemudian..
"Enni, kamu dipanggil bu Frida," kata Bapak tadi.
"Baik pak."
Bu Frida melambai-lambai dari luar, lalu saat sudah dekat, beliau bilang.
"Duduk di sini."
"Iya bu."
"Kamu nanti ujiannya sama ibu lagi ya. Tenang aja, kali ini OP nya muslim, ibu udah atur. Kamu g usah khawatir, ada ibu juga. Teman kamu berjilbab."
"Makasi banyak bu Frida."
"Iya. Nanti masuk ya, habis ini dipanggil."

Alhamdulillaaaah, tak terduga jawabannya...

Lalu saya dipanggil di putaran terakhir. Saya baru sadar. Ketika kita dipanggil masuk, itu saatnya kita jadi OP, lalu setelah kita memasang EKG pada teman kita, barulah giliran kita jadi OP teman kita selanjutnya. Begitu seterusnya.

Tapi alhamdulillah, karena kejadian di atas. Saya tidak menjadi OP, saya aman, karena saya menjadi urutan terakhir.
Selesai ujian, saya mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya pada bu Frida yang sudah sangat baik.

Ternyata, tanpa diketahui oleh siapapun, Bu Frida telah membuat urutan ulang ujian EKG, di mana yang non muslim dipisahkan dalam urutan tersendiri. Cuma karena fasil yang stand by di ruangan, manggilnya ngacak, jadi mahasiswa yang masuk juga ngacak.
Tanpa saya ketahui, Bu Frida memahami dan merancang semuanya.

Dan semakin saya sadari, Allah begitu baiknya. Merencanakan setiap skenario yang terbaik dan tepat pada waktunya. Ada hikmahnya.

Seusai ujian, teman-teman bilang.
"Enni, harusnya tadi kalo enni ikut ujian di awal juga gak papa ya. Kan enni bakalan meriksa dia bukan diperiksa."
"Iya ya. Tapi tadi baru konslet, ga kepikiran." hehe
"Ya udah, berarti sekarang aman ya semuanya. Lancar dan terkendali."
"Iya alhamdulillah, makasi ya temen2."
"Iya makasi juga enni."

Lalu seorang teman saya yang beragama Budha, memanggil saya.
"Enni, mau cerita."
"Kenapa?"
"Tadi aku meriksa dia." (dia --> muslimah)
"Oh gitu.. Tapi dia nya g apa2 kan?"
"Gak papa, diem aja. Aku tadi lupa enni, bener2 lupa di awal sampe pas udah meriksa. Aku baru inget, tadi udah tanda tangan di surat pernyataan kalo aku setuju. Gimana dong enni?"
"Ya udah gak papa Li, kan dia nya juga g bermasalah dengan itu."
"Tapi enni, aku jadi merasa berdosa. Aku dosa ga sih enni? Atau aku buat dia berdosa? Takut.."
"Engga kok Li, ya udah gak papa. InsyaAllah gak papa. Tenang aja."
"Tapi aku g tenang enni.. Maaf yaa.. Aku juga udah minta maaf kok ke dia.."
"Iya Li, g dosa kok. Kan tadi ga sadar, lupa.." hehe.
"Makasi enni."
"Iya, makasi juga yaa."
Saya salut dengan teman saya yang satu ini. Begitu toleransinya dia dengan Islam. :)

Seusai perjuangan panjang tersebut, teman2 bertanya.
"Enni gimana tadi?"
"Alhamdulillah. Konyol tapi bermakna." Hehe
Lalu saya ceritakan dari awal hingga akhir, pada semua yang bertanya. Teman, senior, junior.
Respon mereka, "Itu bukan kisah konyol en, tapi kisah haru."
Hwaaaa.. ^^

Berakhir sudah cerita Ujian KKD EKG. Kloter terakhir pun berjalan dengan baik, tapi tetap saja ada korban.
Sampai detik ini, beberapa bulan setelahnya, saya masih berpikir2. Perlukah isu ini naik ke BEM FKUI? Perlukah adanya advokasi formal dan legal yang menyertakan seluruh mahasiswa FKUI? Saya tak ingin, kejadian kucing-kucingan seperti ini terjadi tiap tahun.
Saya ingin, memang ada SOP yang jelas untuk mengatur dan mendasari hal-hal semacam ini.

Mungkin sederhana, tapi penting dan krusial. Kita bicarakan lebih lanjut, untuk perbaikan bersama.

Semangat junior2ku! Jangan menyerah. Kakak ada untuk kalian.

Dan terimakasih kepada teman-teman yang terlibat. Bersyukur mengenal kalian, berjuang bersama kalian. Subhaanallah. :)

Berubah bersama, bersama mengubah!!!