Senin, 29 Juli 2013

Cerita Sore


Sore ini, saya -bukan secara kebetulan- dipertemukan dengan seorang teman lama, yang sudah saya anggap sebagai kakak saya sendiri. Seorang akhwat yang luar biasa menurut saya.

Pertama kali, saya berkenalan dalam sebuah keluarga bernama FIRMAN. Forum Lingkar Remaja Masjid Se-Kecamatan Jaten. Hehe.
Sebenarnya dulu, saya bukan seorang muslimah yang aktif di masjid, mungkin hanya sesekali saja saya menampakkan batang hidung saya ketika ada momen-momen penting seperti hari raya dan bulan puasa. Hingga waktu itu, menjelang ujian SMP, saya dengan sengaja digabungkan dalam sebuah kelompok mentoring di masjid dekat rumah. Bersama teman-teman seumuran.
Kira-kira 3 kali saya tak pernah absen, saya dipindah ke kelompok lain. Biasanya mentoring di masjid, sekarang di rumah seorang akhwat, yang sudah saya anggap sebagai kakak sendiri juga.
Di kelompok yang baru ini, saya ditakdirkan Allah berjumpa dengan orang baru. Tiga orang saudari baru yang kesemuanya lebih tua dari saya. Senang rasanya, menjadi yang paling muda, paling disayang. :)

Lalu dari sanalah, akhirnya saya sering terlibat di agenda keluarga baru saya itu. Mungkin lebih tepatnya, ketika memasuki SMA. Mengadakan acara dari masjid ke masjid, mengenal yang namanya raker, dan segala suka dan dukanya berjuang ketika rasa lelah dan malas datang. Menjadi yang termuda di tengah kakak-kakak yang tengah beranjak dewasa itu luar biasa rasanya. Ibarat kata, selama ini saya begitu mengidamkan punya seorang kakak dalam hidup saya, dan Allah memberinya bukan hanya satu.

Setiap perjalanannya membuat saya mengharu biru. Ketika saya mengenal mereka satu per satu, lebih dekat.
Ada seorang akhwat, yang jaraknya hanya setahun di atas saya. Memutuskan untuk tak melanjutkan bangku SMA dan memilih untuk bekerja menghidupi ayah dan ibunya di rumah, itu luar biasa menurut saya. Dengan bekal sebuah sepeda, yang ia selalu gunakan kemanapun seruan dakwah memanggilnya. Rumahnya, di tepi sawah. Ya, dan saya sangat suka mengunjungi rumahnya. Bahkan sempat mengadakan acara jagung bakar bersama di sana. Sekarang sudah menikah, memiliki anak berusia 2 tahun. Beliau inilah yang tadi sore bertemu saya. Setelah sekian lama tak berjumpa, bahkan waktu itu saya tak sempat menghadiri walimahannya karena akademis. Beliau yang dulu sempat bertanya, "Dek, mau ya jadi adekku?"
Mbak, rasanya belum puas bertemu. Terimakasih sudah menggoncengkanku ke mana-mana. Meskipun naik motor rasanya lebih nyaman, tapi bersamamu lebih bermakna.

Lain lagi, dengan seorang ikhwan yang usianya terpaut jauh dari saya. Mungkin 5 atau 6 tahun. Beliau seorang lulusan sekolah pelayaran, sempat bekerja di bidangnya, tetapi memutuskan untuk keluar. Begitu istiqomahnya beliau, memilih untuk bekerja di pom bensin. Menggunakan seragam rapi dan selalu tersenyum menyapa pemilik kendaraan yang hendak mengisi bensin. Katamu, di sana ladang dakwahnya lebih luas. Awalnya tak percaya, tapi mata ini tak bisa dibohongi, ketika aku melihatnya sendiri. Terakhir beliau lewat di depan rumah saya dengan anaknya yang masih kecil, 1 tahun kira-kira.
Waktu itu bapak juga sempat bilang, waktu isi bensin di pom tempatnya bekerja, beliau bertanya, "Dek dia gimana kabarnya?" Terimakasih masih mengingatku mas.

Atau seorang akhwat yang ini, dia kelahiran 1988. Dia bekerja sebagai pramuniaga. Meskipun begitu, tak menghalangi semangatnya untuk tetap meraih ilmu. Tak pernah absen liqo. Selalu hadir kajian ilmu di manapun. Beliau yang paling sering menemani saya, yang haus ilmu kala itu. Menjadi teman diskusi kehidupan, karena beliau sudah cukup menelan asam garam. Hingga waktu saya begitu ingin ikut program tahsin sebuah masjid, beliau pula yang semangat mendukung dan menyertaiku. Akhirnya, berdua menghabiskan dua kali seminggu untuk ikut tahsin. Berdua yang paling muda, bersama peserta-peserta lain yang tengah memasuki usia di atas 3 dekade. Beliau pula yang begitu semangat menuntut pendidikan, mengikuti program sekolah setara SMA yang masuk tiap sore. Dari kabar terakhir, saya hanya tahu beliau sudah menikah dan kembali ke kampungnya, di Pacitan. Mbak, kenapa ga ada kabarnya, where are you?

Dan begitu banyak sosok kakak yang sangat saya kagumi di sana, FIRMAN. Setiap kalian begitu berharga, menorehkan warna warni dalam hidup seorang Enninurmita. Terimakasih telah mengajarkanku makna dewasa, memberiku banyak pelajaran tentang hidup.
Saya bersyukur, menjadi yang paling muda karena saat itulah saya bisa menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Menjadi bekal saya melangkah hingga mampu menjadi sekuat sekarang.

Saya, yang memilih untuk bersekolah yang tinggi, seperti pesan-pesanmu.
Saya, yang membentangkan jarak di antara kita. Ingat betul rasanya, saat saya pamit akan berangkat ke Jakarta 4 tahun lalu.
Saya, yang memilih untuk keluar dari zona nyaman saya.
Saya, ya saya, yang begitu rindu akan saat-saat itu. Begitu banyak titik di mana saya merasa, tak boleh sedikitpun berhenti untuk, 'bersyukur'.

Dia sayang kalian karena Allah. Alhamdulillah. Terimakasih Allah, atas setiap kesempatan yang Kau beri. Menjadi satu dari sekian banyak alasan untuk terus melangkah pasti. Menatap masa depan.. :')







Minggu, 28 Juli 2013

Anak Kecil dan Mainan

Dan semakin lama.
Ia tampak seperti anak kecil yang telah mendapatkan mainan, yang selama ini begitu diinginkannya.
Sejak semula dalam diamnya, ia hanya berani berucap dalam hati.
Dalam mimik yang tampak menahan rindu.
"Allah, aku ingin yang itu," katanya.

Ya, sekali-kali ia tak pernah mengungkapkannya pada ibu.
Atau pada ayah. Atau pada orang-orang di sekelilingnya.
Bahwa ia begitu memimpikan mainan itu ada dalam genggamannya.

Suatu saat pernah ia menemukannya, bahkan mungkin sempat melihatnya beberapa lama.
Lalu terpisah oleh bilangan waktu yang tak menentu.
Karena ia tau, ia tak cukup dewasa.
Mungkin nanti, mungkin nanti.
Kau akan beri ia waktu untuk menjadi empunya.
Ketika mainan itu semakin Kau poles dengan sempurna.
Dan ia juga. Cukup mampu untuk menjaganya.

Allah, anak kecil itu.
Merasa telah berhadapan dengan sesuatu yang istimewa.
Dia dan harapannya.
Jika memang waktu adalah milikMu dan tiba saatnya bertemu.
Pun ketika ia tahu, bahwa segala kebetulan adalah takdir yang telah dituliskan.
Maukah Kau mengizinkan mereka untuk bersama selalu?
Dia dan mainan yang selama ini selalu ia elukan dalam doanya.

Katanya, lagi.
"Duhai Allah aku tak pernah tau, apa yang telah terukir oleh penaMu.
Dalam catatan pasti, yang terjaga rapi dalam kuasaMu."

:)

Selasa, 16 Juli 2013

Inspiratif

Inspiratif sekali cerita ini, membuatku terdiam, mendekap dalam-dalam semua mimpi yang telah kutuliskan. Percaya, bahwa selalu ada jalan untuk mewujudkan.. 

Ditulis oleh seorang dokter Obsgyn, dr. Dyah Mustikaning Pitha Prawesti.

Aku baru saja menyelesaikan satu buku tentang pendidikan anak yang direkomendasikan suamiku. Judulnya, battle hymne of the tiger mother, yang ditulis oleh seorang profesor bidang hukum di Yale universityberdarah Cina. Berkisah tentang perjuangannya membesarkan 2 orang putrinya di Amerika, dan pertentangan prinsip 'Chinese' dan 'Western' parenting. Ditulis secara naratif dan deskriptif, membuatku mengenang kembali masa kecilku dan membayangkan masa depan anak-anakku, yang dalam hal ini kurang lebih sama posisinya dengan anak-anak si penulis.

Sampai berjam-jam kemudian, isi kepalaku masih dipenuhi dengan berbagai ide dan gambaran metode mendidik anak-anakku yang diinspirasi dari buku itu. Namun entah kenapa, sesaat sebelum tidur malam itu, tiba-tiba aku merasa bukan menjadi 'the tiger mother'. Bahkan, aku merasa seperti menjadi bagian dari peran kedua anak gadis yang dikisahkan di buku itu, diasuh oleh 'tiger mother'. Ibuku memang menerapkan prinsip pendidikan yang hampir sama dengan 'Chinese' parenting itu padaku, tapi itu tentu sudah berakhir lebih dari satu dekade lalu.

Sambil mengelus-elus gadis kecil di sampingku agar segera tidur, pikiranku masih terus melayang mengapa bukan peran 'tiger mother' yang kurefleksikan, tapi justru kedua putrinya. Kalau aku merasa seperti kedua gadis dalam buku itu, tentu ada seseorang yang berperan sebagai 'the tiger mother' untukku saat ini. Tepat saat itu suamiku masuk kamar melongok apakah si kecil sudah tidur dan mengingatkanku untuk memberinya anti piretik agar dia tidur nyenyak (si kecil memang sedang terserang ISPA dan sering rewel di malam hari karena hidungnya mampet). 

Seperti balita yang baru berhasil memecahkan puzzle 4 bagian, otakku berseru 'that's it...!!'.  Aku tidak hidup bersama seorang 'tiger mother' lagi saat ini, tapi aku memiliki seorang 'ram husband' yang mengarahkan jalan hidupku. Entah mengapa aku memilih sebutan 'ram' yang artinya domba jantan. Mungkin diinspirasi dari zodiaknya yang Aries, dan 'ram' adalah simbolnya. Tapi aku tak percaya zodiak, apalagi sebagian ulama menyatakan hal itu dekat dengan kemusyrikan. Aku juga tak tahu apakah sifat 'ram' itu sama seperti suamiku, toh aku dididik sebagai dokter manusia, bukan dokter hewan.

Namun aku kenal persis sifat suamiku (walau mungkin dia akan menyangkal pernyataan ini). Hampir sepuluh tahun melewati hidup bersamanya, dia selalu bisa membaca pikiranku sama seperti aku bisa membaca hatinya (mungkin yang ini juga debatable). Walau kami sama sekali tak saling mengenal waktu pertama kali berjumpa, kurasa sifat percaya diri dan visionernyalah yang membawa kami sampai ke kursi pelaminan, dibanding sifatku yang lebih banyak 'let's just go with the flow...'. Kami sama-sama anak pertama, sama-sama keras kepala dan suka berdebat, dan yang lebih penting sama-sama tidak mau mengalah.

Aku masih harus menyelesaikan pendidikan dokter umumku saat aku menikah. Rotasi di berbagai bagian seperti bedah, obgin, dan seterusnya akan tetap menghabiskan waktuku sama ketika aku masih gadis dulu. Aku tidak mau studiku terganggu karena menikah, dan aku sudah memberikan janjiku pada ibuku akan tetap lulus tepat waktu dengan nilai baik walau menikah saat kuliah. Karena janji itu, ide suamiku untuk segera memiliki anak setelah menikah tentu kutolak mentah-mentah. Terbayang bagaimana susahnya berlari-lari sepanjang lorong IGD saat jaga dengan perut buncit karena hamil. Belum lagi aku akan harus cuti melahirkan, tentu membuat targetku lulus tepat waktu meleset.

Singkat cerita (lebih karena aku tak ingat lagi apa yang terjadi atau apa yang suamiku lakukan untuk membujukku), aku melahirkan anak pertamaku saat aku masih ko-ass. Aku cuti melahirkan. Aku terlambat lulus 5 minggu dari teman-teman seangkatanku. Aku wisuda satu semester setelah teman-teman sparingbelajarku diwisuda, walaupun tetap bisa dilantik sebagai dokter bersama-sama di gelombang pertama. Tapi bedanya, teman-temanku waktu itu kebanyakan hanya didampingi kedua orang tuanya saat wisuda dan pelantikan. Diriku ? Didampingi kedua orang tuaku, mertua, suami, dan tentu saja bayi kecil yang telah banyak mengubah hidupku.

Mendapat ijasah lebih lambat dari seharusnya juga merentang tantangan di depanku. Impianku untuk segera mendaftar program pendidikan spesialis obstetri dan ginekologi terpaksa ditunda. Selain itu, aku juga tak bisa membayangkan dari mana uang puluhan, bahkan ratusan juta yang harus kusediakan untuk membiayai pendidikan spesialis. Orang tuaku pensiunan pegawai swasta (tanpa tunjangan pensiun tentunya) dan masih harus membiayai sekolah 2 adikku. Penghasilan suamiku saat itu hanya cukup membiayai kebutuhan keluarga kecil kami.

Akhirnya aku memendam (setidaknya menunda) mimpiku untuk segera melanjutkan pendidikan spesialis. Sebagai gantinya, aku rajin membaca koran dan internet, mencari kesempatan beasiswa belajar di luar negeri. Ini adalah impianku yang lain sejak sekolah menengah dulu, kuliah di luar negeri. Aku sadar suamiku tak sepenuhnya menyetujui ide ini. Dia memiliki pekerjaan yang tak mungkin ditinggalkan begitu saja untuk menemaniku sekolah di luar negeri. Anak kami pun umurnya belum genap setahun, tak terbayang bagaimana mengakali itu semua.

Lagipula aku sadar diri, sebagai dokter fresh graduate, nilai lebih apa yang kupunya untuk bersaing dengan ribuan pemburu beasiswa lain dengan segudang pengalaman dan referensi. Akhirnya aku menjadikan'hunting' beasiswa itu sebagai hiburan sampingan, daripada tidak ada target yang kukejar sambil menunggu ijasahku keluar. Tapi toh suamiku mendukungku habis-habisan. Dia yang rajin mencarikanku berbagai info lewat internet (koneksi internet jaman dulu tentu tak sebagus sekarang). Saat aku (tak disangka-sangka) berhasil melewati seleksi berkas Australian Development Scholarship (ADS) untuk program master, suamikulah yang memaksaku mempersiapkan diri dengan les IELTS agar saat tes di tahap selanjutnya nanti nilaiku baik. Suamiku juga yang menjadi sparing latihan wawancara, memberi masukan ini itu untuk jawabanku yang 'belepotan'.

Sebulan sebelum pengumuman penerimaan beasiswa ADS, suamiku mendapat pekerjaan baru dengan gaji yang jauh lebih baik. Walau perusahaan tempat bekerjanya waktu itu adalah 'the dream company' untuknya sejak masih kuliah dulu, dia rela melepaskan tempat tersebut dan pindah ke perusahaan baru itu. Ketika mendiskusikan keputusannya untuk pindah perusahaan, dengan nada ceria dan antusias dia berkicau "Alhamdulillaah...Mudah-mudahan kalau bisa dapet gaji segini, kita bisa bayar SPP buat obgin. Tinggal cari cara buat bayar admission fee aja kalo memang diterima nanti. Begitu ijasah resmi keluar, langsung urus semua surat buat daftar obgin yaa...", begitu 'instruksi'nya.

Ternyata rencana Sang Pencipta sudah tertulis sedikit berbeda untukku. Beberapa minggu setelah suamiku mulai bekerja di tempat baru, aku mendapat telpon darinya. "Pitha, dapet tuh beasiswa ADS nya...Katanya langsung masuk untuk 'june intake'...". Suamiku yang rajin membukakan email untukku di kantornya karena waktu itu kami belum punya akses internet di rumah. Bulan Juni itu tinggal 4 bulan lagi, sedangkan anakku belum genap 1 tahun umurnya, suamiku baru mulai bekerja di tempat barunya, tidak mungkin minta cuti menemani istri sekolah. Walau sangat senang karena impianku untuk mencicipi kuliah di luar negeri bisa terwujud, tapi aku bimbang karena realitas keluargaku rasanya tak memungkinkan itu terjadi.

Aku tahu suamiku pun merasa bimbang. Setelah diskusi panjang, akhirnya dia memutuskan memberiku ijin pergi ke Sydney, Australia, untuk mewujudkan satu impianku. Tapi dengan catatan, aku harus mengurus dulu semua persyaratan administrasi untuk pendaftaran obgin dan pulang saat ujian penerimaan obgin. Harga lain yang harus dibayar adalah aku tidak bisa membawa anakku pergi bersamaku dan suamiku hanya bisa berkunjung sesekali waktu karena tidak mungkin meminta cuti bekerja setahun penuh.

Tapi memang itulah skenario Sang Pencipta. Dari uang beasiswa ADS itu aku bisa menyisihkan sebagian uang dan menabungnya untuk membayar admission fee pendidikan spesialisku nantinya. Suamiku rela membayar tiket pesawat Jakarta-Sydney supaya aku bisa pulang beberapa kali, suami dan anakku bisa berkunjung ke Sydney, supaya kami semua tetap sering berkumpul dan bertemu. Selama aku kuliah, setiap hari saat menelpon pertanyaan yang sama selalu dilontarkannya padaku "udah sampe mana belajar untuk ujian obgin..?". Aku kuliah tentang health services management dengan setumpuk assignment, mana sempat melahap buku-buku obgin yang tidak ada hubungannya dengan assignment ku...

Kurasa, memang jalan hidupku untuk kemudian lulus seleksi residen obgin dan memulai pendidikan di sana. Suamiku memberikan semua yang dimilikinya untuk mendukungku sekolah, terutama di masa-masa awal pendidikanku. Materi, waktu, dan ekstra kesabaran untukku. Tak jarang aku menghabiskan waktu berhari-hari di rumah sakit tanpa pulang ke rumah. Sekalinya pulang ke rumah, membawa badan lelah, muka kuyu, dan segudang 'curhat' dari mulutku. Aku tahu sebenarnya batas sabarnya sudah sering terlewati karena selalu pasien-pasienku di rumah sakit terpaksa kuprioritaskan daripada keluarga kami. Aku sadar bahwa 'toleransi' untukku sebagai istri dan ibu sering melanggar kemampuan toleransi manusia secara umum. Toh ketika aku memiliki ide untuk berhenti saja dari pendidikan obgin, suamiku adalah orang pertama yang paling menentang.

Bahkan ketika aku cuti pendidikan untuk menemaninya bekerja di Inggris, dia tetap membuatku kembali bersekolah. Setelah cuti setahun dari pendidikan, aku merasa mungkin sebaiknya aku belajar menjadi ibu rumah tangga yang baik dulu. Belajar mengurus suami dan kedua anakku dengan baik. Setelah adu argumen panjang, suamiku berhasil memenangkan pendapatnya bahwa aku harus kembali ke Jakarta, menyelesaikan pendidikan spesialis obginku dulu. Itu artinya selama minimal 3 tahun ke depan, aku dan kedua anakku harus tinggal di Jakarta, sedangkan suamiku sendiri di Inggris. Aku tak tahu bagaimana waktu selama 3 tahun itu bisa berlalu, dengan suamiku harus menempuh perjalanan udara selama 2x24 jam setiap 2-3 bulan sekali untuk mengunjungi kami di Jakarta, sampai akhirnya masa itu lewat sudah.

Aku selalu heran mengapa dia begitu 'ngotot' memaksaku menyelesaikan sekolah obginku. Salah satu alasannya yang dia ceritakan di kemudian hari adalah dia merasa memiliki hutang kewajiban, menjadikanku SpOG. Rupanya, sebelum kami menikah dulu, aku memperkenalkan diriku sebagai mahasiswa kedokteran yang hampir seluruh waktunya habis untuk kuliah dan aktivitas kemahasiswaan. Maksudku adalah memberi gambaran bahwa setelah menikah, waktuku tetap akan banyak tersita untuk kuliah, sehingga kuharap dia mengerti dan tidak terkejut kemudian dengan keadaanku. Aku juga menceritakan cita-citaku untuk langsung melanjutkan pendidikan spesialis obgin begitu aku selesai dokter umum, dengan harapan dia tidak menentang hal tersebut nantinya. Namun ternyata suamiku memiliki interpretasi berbeda. Dia menganggap ketika dia menyetujui menikah denganku dengan kondisiku saat itu, artinya dia berjanji akan mendukungku habis-habisan untuk menjadi SpOG. Padahal, aku tidak pernah menganggap hal itu sebagai janji pra-nikah.Anyway, ke'ngotot'an suamiku itulah mungkin salah satu 'bahan bakar'ku untuk menyelesaikan pendidikan spesialis.

Sifat suamiku yang 'ngotot' dan selalu 'mengulang' apa yang menjadi keinginanannya itu juga telah membuatku melakukan hal-hal yang tadinya tak pernah terbayang untukku. Selama di Inggris, dia memiliki ide agar aku mencoba mengikuti ujian registrasi dokter lulusan internasional agar dapat berpraktek di Inggris. Awalnya aku menolak karena artinya aku harus meng 'unlearned' pendidikan spesialisku dan belajar menjadi dokter umum kembali. Belum lagi aturan registrasi di Inggris sangat rumit, ujian PLAB (professional and linguistic assessment board) yang harus dilewati bila ingin melakukan registrasi, dan persaingan dengan berbagai lulusan dokter internasional lainnya.

Tapi bukan suamiku namanya kalau menyerah begitu saja. Dia meluangkan waktunya mempelajari website General Medical Council UK, mencari cara bagaimana melakukan registrasi. Bahkan aku yang dokter saja berpendapat website itu tidak 'user-friendly' untuk mudah dimengerti. Setelah dia mengerti aturannya, dia membuatkan account untukku supaya bisa melakukan registrasi dan mengikuti ujian PLAB.

Aku kembali beralasan bahwa sulit untukku belajar kembali jadi dokter umum, banyak sekali materi yang harus kukuasai. Selama ini aku sudah telanjur belajar sangat spesifik sebagai residen obgin. Aku tidak kenal seorang pun dokter lulusan Indonesia yang pernah mencoba ujian atau lulus PLAB. Bagaimana aku tahu seperti apa ujiannya dan bahan apa saja yang harus kupelajari. (Padahal alasanku sebenarnya adalah aku sama sekali tidak 'pe de' untuk mencoba ujian itu dan tidak berani bermimpi untuk bisa bekerja sebagai dokter di Inggris).

Alasan itu tidak diterimanya. Dia kemudian mendata kolega di kantornya yang memiliki pasangan atau teman dokter untuk dimintai informasi. Tidak cukup itu saja, suamiku bergabung dengan forum-forum online dokter lulusan internasional yang mencoba ujian PLAB. Membaca berbagai review tentang buku-buku yang disarankan sebagai materi belajar ujian PLAB. Sebagai hasilnya, berbagai buku, salah satunya setebal lebih dari 12 cm datang diantar oleh tukang pos setelah suamiku memesannya secara online.

Ujian PLAB terdiri dari 2 tahap, yaitu ujian tulis dan ujian praktek (OSCE = objective structured clinical examination). Untuk bisa melakukan registrasi dan ijin berpraktek di Inggris, semua dokter lulusan internasional harus melewati kedua ujian tersebut. Karena berbagai alasan yang kusampaikan tentang betapa sulitnya untukku untuk mempelajari semua materi pengetahuan dokter umum untuk ujian PLAB 1, akhirnya suamiku mencari info tentang kursus persiapan PLAB 1. Dia meyakinkanku untuk mengikuti sebuah kursus singkat di Manchester, 4-5 jam perjalanan darat dari rumah kami. Meski sangat membenci perjalanan jauh dengan mobil, dia rela mengantarku pergi ke Manchester demi kursus itu. Belum puas dengan itu, dia masih memintaku mengikuti kursus online dari sebuah website yang direkomendasikan temannya.

Aku yang waktu itu sedang hamil anak kedua kami, belajar dengan setengah hati. Bayangan ingin bersantai saat hamil dan cuti sekolah rasanya dirusak oleh semangat suamiku agar aku lulus PLAB. Setiap pulang kantor, saat menelpon dari kantor, selalu pertanyaan yang sama dilontarkannya, "udah belajar PLAB sampe mana..?". Sebelum berangkat kantor atau sebelum dia tidur di malam hari, pesannya adalah "jangan lupa belajar PLAB yaa...". Sering aku kesal mendengarnya dan menjawab dengan ketus, "Mas, Pitha bukan anak kecil...ga usah disuruh-suruh belajar...!! Ibu aja nyuruh belajar cuma pas Pitha SD. Abis itu ga pernah ada orang yang nyuruh Pitha belajar..!!". Biasanya dia cuma tertawa terpingkal-pingkal melihat reaksiku dan berkata, "baiklaaahhhh...boleh libur belajar sekarang...besok lanjut lagii...". Kadang aku sangat kesal sampai menangis merasa diperlakukan seperti anak kecil, disuruh-suruh belajar. Tapi sekarang kurenungi, kalau bukan karena 'kebawelan' suamiku menyuruhku belajar, mungkin aku tak akan pernah belajar dan lulus PLAB 1.

Butuh waktu 3 tahun untukku setelah lulus PLAB 1 untuk berkesempatan lagi mengikuti PLAB 2. Karena aku harus melanjutkan pendidikan spesialisku di Jakarta, aku terpaksa menunda ujian PLAB 2 ku sampai saat terakhir. Ada batasan waktu maksimal 3 tahun setelah lulus PLAB 1, untuk lulus PLAB 2. Bila dalam 3 tahun aku tidak berhasil lulus PLAB 2, aku harus memulai segala sesuatunya dari awal lagi. Itu artinya, aku harus lulus ujian PLAB 2 saat itu. Tidak ada kesempatan waktu lagi untukku bila gagal di ujian ini.

Kurasa suamiku lebih tegang daripada aku dalam menghadapi ujian ini. Berbagai buku dan DVD panduan belajar ujian PLAB 2 sudah disediakannya saat aku tiba kembali di Inggris. Tidak cukup itu saja, suamiku kembali aktif mengikuti berbagai forum online para dokter yang berniat ikut ujian PLAB 2. Dari forum itu, suamiku mendapat informasi suatu tempat kursus persiapan PLAB 2 di daerah East London. Kursus itu berlangsung selama 14 hari non-stop, dari pukul 9 pagi sampai 7 malam. Harganya cukup mahal untuk kantong kami, tapi suamiku berhasil membujukku untuk mengikuti kursus itu.

Tempat kursus itu jaraknya cukup jauh dari tempat kami. Bila menggunakan transportasi publik, memakan waktu sekitar 2 sampai 2,5 jam sekali jalan. Berarti pulang pergi aku harus menghabiskan waktu 4-5 jam sehari. Akhirnya suamiku memutuskan untuk mengantar jemput diriku ke tempat kursus itu dengan mobil, karena perjalanan bisa disingkat sekitar 40-50 menit sekali jalan. Pertimbangannya adalah agar aku bisa memanfaatkan sisa waktu lainnya untuk belajar. Karena suamiku jg harus masuk kantor pk 8.30 pagi setiap hari, kami harus berangkat sebelum matahari terbit agar suamiku tidak terlambat masuk setiap harinya. 

Jadilah selama 2 minggu itu agenda suamiku adalah menyupir sejauh 120 mil (sekitar 200 km) setiap harinya untuk mengantar dan menjemputku kursus, bekerja, memasak, menjadi sparing belajarku sampai tengah malam, termasuk menjadi 'pasien' latihanku melakukan berbagai pemeriksaan klinis yang harus kukuasai, sekaligus 'editor' bahasa inggrisku yang 'betawish'. Dia terpaksa harus ikut belajar apa yang kupelajari agar bisa jadi sparing belajarku. Kurasa, berlatih beberapa lama lagi dia juga akan 'eligible' untuk ikut ujian PLAB 2. 

Perjalanan ribuan mil itu diakhiri dengan menyupir pulang pergi hampir 300 mil (sekitar 450 km)  ke Manchester untuk mengikuti ujian PLAB 2 itu. Suamiku tidak mau aku pergi sendiri dengan kereta, dia memilih mengambil cuti dan mengantarku sendiri ke tempat ujian itu. Kalau kemudian aku lulus PLAB 2, kurasa suamikulah yang paling berhak mendapatkan 'reward' nya karena dia bekerja 2x lebih keras dibanding usahaku untuk belajar.

Untuk urusan 'self confidence', suamiku juga adalah orang yang selalu membesarkan hatiku. Saat mengetahui bahwa di tahun terakhir pendidikan obstetri dan ginekologi terdapat rotasi 'elective posting', suamiku mengusulkan agar aku melakukan elective posting itu di salah satu rumah sakit di London. Awalnya aku tidak 'pe de', tidak untuk mengirimkan lamaran, menulis CV, atau mengontak para konsultan di Inggris. Terbayang olehku pertanyaan mereka saat membaca aplikasi atau CV ku, "a resident from Indonesia? Where about in the world Indonesia is?.." seperti pertanyaan kebanyakan orang Inggris yang pernah kutemui. Belum lagi bila harus bekerja bersama mereka. Tapi suamiku meyakinkanku dengan candaannya, "jangan khawatir, orang Indonesia ga kalah pinter kok sama mereka-mereka itu...mereka menang ngomong doang...!!!". Jadilah akhirnya berbekal nekat dan tips sedikit rasis dari suamiku aku bisa mendapatkan tempat elective posting di beberapa rumah sakit di London.

Kadang-kadang aku berpikir, kenapa suamiku lebih memilih bersikap "ngotot, menuntut, bawel" kepadaku daripada bersikap romantis dan memanjakanku. Rasanya ingin juga sekali-sekali diberi buket bunga, atau diajak candle light dinner dengan sedikit puisi romantis, seperti tontonan sinetron atau telenovela. Tapi kemudian pikiran itu segera kubuang jauh-jauh bila membayangkan puisi lebay berisi rayuan gombal keluar dari mulutnya. Aku bisa pingsan tertawa mendengarnya, apalagi bila suamiku yang membacakannya. It's just not him, and I hate 'lebay' man...

Nevertheless, kurasa, memang sifat suami seperti dialah yang kubutuhkan untuk memimpin keluarga. Aku butuh seseorang yang menetapkan target-target dalam setiap tahap kehidupannya, juga kehidupanku dan keluarga kami. Aku butuh orang "bawel" yang selalu mengingatkan segala sesuatunya untukku. Dan yang paling penting, aku selalu butuh sparing belajar di dunia ini untuk menjadi orang yang lebih baik.


Just can say, he seems like who I'm looking for.. Please Allah, send to me in the right time..
Hope, someday, I'll write my own stories.. :')

Sabtu, 22 Juni 2013

Ehehem :)

Saya sekolah tinggi-tinggi, bukan untuk karir dan jabatan.
Tetapi hanya ingin suami dan anak-anak saya nanti, didampingi oleh seorang istri dan ibu yang cerdas.
Membentuk keluarga hebat bersamanya.
Menjadi sebaik-baik teman diskusi bagi semua. 

Saya punya mimpi yang tinggi, bukan untuk karir dan jabatan.
Tetapi hanya ingin orang-orang di sekitar saya dapat merasakan ilmu yang saya amalkan.
Menjadi sebaik-baik perantara kepada Penciptanya.
Bahwa sehat dan sakit adalah nikmatNya.

Menyadari bahwa setinggi apapun cita, dekatnya surga ada padanya.
Yang membawa kita pada ridhoNya.

Sesederhana itu.


-enninurmita-


Senin, 11 Maret 2013

Yuk, Perbaiki Diri


Bismillahirrohmanirrohim.. J
Sebagai seorang pribadi yang tak luput dari kesalahan, tentunya kita ingin agar setiap jejak kesalahan dan kekesalan dapat dijadikan bekal pelajaran untuk ke depannya. Semakin banyak dosa yang kita perbuat dan kelalaian yang tak sengaja diperbuat, akan menjadi motivasi penuh untuk terus berbenah.
1. Usahakan untuk selalu berpikiran positif.
Dalam melakukan sesuatu, adalah penting untuk berpikiran positif. Dalam tatapan mata yang optimis, kita akan menatap masa depan yang cerah. Optimis membuat kita mampu melewati berbagai tantangan, seberat apapun itu. Berpikiran positif ini erat pula kaitannya dengan prasangka baik. Ketika kita berusaha untuk terus berkhusnuzon terhadap apa yang terjadi pada diri kita, maupun berkhusnuzon terhadap mimpi-mimpi kita, tentunya Allah akan menguraikan hikmah dan makna dengan cara yang tiada terkira.
Berpikir positif juga mampu membuat kita jauh dari sifat-sifat yang negatif, seperti benci, iri, marah, dan kawan-kawannya. Maka, berpikirlah positif di setiap saat.
2. Mencoba untuk tabah, hindari untuk mengeluh.
Mengeluh hanyalah sesuatu yang menyebabkan kita loyo, tak bersemangat. Dalam menghadapi kegagalan, terus berpikiran positif dan terus tabah. Dengan mengeluh, tak akan menyebabkan kegagalan menjadi kesuksesan. Malah bisa jadi, kita semakin terperosok jauh dalam permasalahan yang ada. Terus bangun, jika kita jatuh.
Setinggi apapun harapan dan keinginan kita, jangan pernah lupa untuk menyiapkan ruang kegagalan sesempit apapun. Di ruang kegagalan itu, insyaAllah kita bisa merenung mengapa ikhtiar kita belum mencapai kata ‘berhasil’.
3. Biasakan untuk konsisten.
Pengaturan jadwal adalah sesuatu yang penting di dalam kehidupan ini, baik itu jadwal harian, bulanan bahkan tahunan. Cobalah untuk selalu disiplin dalam mentaati jadwal yg telah kita susun. Biasakan untuk menuliskan targetan hidup kita, lalu tuntaskan satu per satu. Jangan ada kata menunda-nunda.
Sebagai seorang muslim, tentu kita tahu bahwa Islam mengajarkan untuk selalu istiqomah dalam menjalani segala aktivitasnya. Istiqomah di sini artinya konsisten. Konsisten dalam beribadah, beramal, belajar, serta dalam menjalankan peran kita sebagai seorang mahasiswa dengan segudang agenda. Rasullah SAW pernah didatangi oleh seorang lelaki, kemudian lelaki itu bertanya: "Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku satu ungkapan tentang Islam, yang saya tidak memintanya kepada seorang pun kecuali kepadamu." Rasullah SAW bersabda "Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah, kemudian istiqomahlah’". (HR. Muslim)
4. Fokus terhadap apa yang sedang dikerjakan
Fokus di sini artinya terpusat, tak terbelah-belah atau terpisah-pisah. Usahakan konsentrasi pada sesuatu hal, untuk menjadi pribadi yang profesional. Saatnya bekerja kita bekerja, saatnya belajar kita belajar, saatnya makan kita makan. Semua ada waktunya. Pun jika kita merasa punya bakat ‘multitasking’, cobalah untuk fokus terhadap setiap tugas atau amanah yang diemban.
InsyaAllah terpenuhi semua aktivitas dan kebutuhan kita jika kita fokus dengan apa yang kita kerjakan. Fokus juga akan memberikan hasil yang luar biasa karena kita berusaha dengan sebaik-baiknya, terlebih lagi jika kita mengikutsertakan hati dan pikiran dalam perbuatan.
5. Terbuka kepada orang terdekat
Nah, ini yang terakhir. Cobalah untuk selalu terbuka. Biar bagaimanapun, yang bisa menilai kita adalah orang lain. Kita butuh masukan positif dan negatif untuk terus memperbaiki diri. Sampaikan setiap kisah suka dan duka kepada ibu, ayah, saudara, serta sahabat-sahabat tercinta.
Ingatlah bahwa, kabar bahagia akan semakin merekah indahnya jika dibagi. Biar bagaimanapun, membuat orang lain tersenyum senang karena kita, akan menjadikan hidup kita terasa lebih bermakna. Kalau kabarnya sedih gimana? Ya, itulah saatnya kita butuh tempat untuk saling bertukar pikiran serta saling berkaca. Kita butuh sudut pandang orang ketiga dalam melihat masalah-masalah yang ada, agar semakin bijak dalam mencari jalan keluarnya.
-oo-
Itulah tips and triks yang mungkin berguna bagi kita untuk terus memperbaiki diri. Semoga bermanfaat. J

Stase di Persahabatan


Selama di stase pulmonologi RSUP Persahabatan, ada banyak sekali pelajaran yang bisa saya ambil. Pasien-pasien di sana nampak berbeda dengan pasien-pasien yang biasa saya temui di RS lainnya. Mayoritas pasien yang saya temui di bangsal adalah pasien dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, mungkin karena pasien yang saya temui adalah pasien-pasien kelas 3. Akan tetapi, ada juga pasien-pasien dari kalangan atas yang terlihat berbeda sikapnya ketika saya menyambutnya.
Terlihat sekali, bagaimana mereka memposisikan saya sebagai seorang dokter yang benar-benar dokter, mempercayakan dirinya untuk saya periksa, baik di IGD, di bangsal, maupun di Poli. Bukan lagi dianggap sebagai seorang koas yang sedang belajar. Hanya sesekali saya menjumpai pasien-pasien yang terlihat masam saat saya anamnesis di IGD, ya karena pasien kelas satu atau kelas dua.
Pengalaman berkomunikasi dengan pasien juga beragam. Pertama, mengenai pasien follow up saya, ada dua orang. Pasien pertama adalah seorang kakek yang didiagnosis dengan bullae terinfeksi dan bekas TB. Awalnya, saya hanya ditugasi oleh residen yang memegang pasien tersebut untuk menganamnesis dan memeriksa ulang. Ternyata dokter tersebut merasa kesulitan untuk menggali informasi dari pasien dan keluarganya karena kurang terbuka dan kurang informatif. Setelah saya mencoba membangun rapport dengan pasien dan keluarga, saya mampu mendapatkan informasi yang lebih banyak, serta mencari tahu bagaimana tipe pertanyaan yang pasien lebih leluasa untuk menjawab. Kakek ini biasa tinggal seorang diri karena anak dan cucunya tinggal di rumah sendiri. Beliau biasa mengerjakan urusan rumah tangga sendiri, mulai dari memasak, menyuci, mengepel, dan lain-lain. Di usia 76 tahun, pasien masih kuat melakukannya. Dulu beliau adalah buruh bangunan, saat ini tubuhnya terlihat kecil dan kurus. Semenjak sakit, aktivitas pasien terhambat. Akan tetapi hal itu tidak membuatnya terlihat sedih atau berputus asa, beliau nampak seperti seorang kakek yang tegar, yang selalu ingin terlihat baik-baik saja di depan semua orang. Pun di depan saya. Saya senang ketika mengetahui beliau akan pulang, tetapi juga khawatir, siapa yang akan mengurusnya di rumah. Dengan yakin beliau menjawab, beliau bisa melalui hari-harinya sendiri, sesekali anak dan cucunya datang menjenguk. Semoga beliau selalu dilimpahkan kesehatan dan keberkahan. Amin.
Pasien follow up kedua saya adalah pasien adenokarsinoma paru. Beliau dirawat untuk persiapan kemo yang kesebelas kalinya, nampak bersahaja dengan senyumnya. Awalnya saya memperkenalkan diri dan meminta izin untuk bertanya-tanya. Beliau mengiyakan dan menjawab setiap pertanyaan saya dengan lengkap. Sesekali kami bercanda untuk mengakrabkan diri. Beliau menceritakan kisah hidupnya, di mana dulu sangat hobi merokok. Lalu setelah sakit, pasien baru menyadari bahwa selama ini uang yang digunakan untuk membeli rokok sia-sia, justru meninggalkan penyakit ganas di dalam tubuhnya. Karena sudah kemo sepuluh kali, pasien terlihat tenang dengan persiapannya menjelang kemo. Selama 4 hari saya mengunjunginya untuk follow up, beliau selalu menyambut saya ramah. Beliau juga tak segan menceritakan keluhannya setiap hari, bagaimana tidurnya, bagaimana makannya, dan apakah keluhan yang kemarin masih dirasakan. Saya mencoba menggali informasi lebih jauh tentang kondisi keluarganya, hingga anak dan cucunya. Pasien merasa bersyukur dengan apa yang telah Allah berikan padanya, termasuk istri yang sampai saat ini masih setia menemaninya berobat.
Pasien-pasien yang saya temui di IGD cukup bervariasi. Sempat beberapa kali, saya bertemu dengan pasien kelas dua atau kelas satu, mereka nampak tidak terlalu senang dengan keberadaan saya. Setiap saya tanya, jawabannya sedikit ketus dan terlihat high-educated. Terkadang merasa tidak dihargai, tapi saya selalu mencoba berpikir positif, mungkin pasiennya sedang sesak, misalnya. Meskipun perlakuannya ke saya dan teman-teman sedikit berbeda, tapi biar bagaimanapun mereka tetap pasien-pasien yang harus diperlakukan sama. Mereka semua berhak mendapatkan pelayanan paripurna. Pada akhirnya, mereka luluh juga dengan ketulusan saya dan teman-teman yang memang ingin membantu kesulitan dan mengatasi keluhan mereka. Senang rasanya, kepuasan tersendiri ketika mampu melayani dengan baik.
Sejauh ini, saya menyadari, bahwa ada banyak pelajaran tentang kehidupan yang saya dapat di sini. Bukan hanya tentang aplikasi dan korelasi teori dengan kasus yang saya coba pahami, tetapi juga bagaimana mampu menjalin ikatan erat antara dokter-pasien. Tentang saling membutuhkan, saling percaya. Tentunya pasien-pasien berharap, mereka berada di tangan orang-orang yang tepat, yakni dokter yang dipercaya. Saya pun demikian, berharap dapat memahami pasien seutuhnya, membacanya sebagai textbook yang langka, dengan integrasi akal, hati, dan berbagai ketrampilan yang saya miliki. Bagi saya, tempat di mana saya bisa belajar banyak hal yang tidak saya temui di tempat lain adalah, Rumah Sakit. 


Ditulis untuk memenuhi tugas Prof. Menaldi Rasmin, 
Tentang bagaimana pengalaman berkomunikasi dengan pasien di stase Pulmonologi


Minggu, 10 Maret 2013

Chemistry

Baru saja berakhir Hujan di sore ini Menyisakan keajaiban Kilauan indahnya pelangi Tak pernah terlewatkan Dan tetap mengaguminya Kesempatan seperti ini Tak akan bisa di beli
Bersamamu ku habiskan waktu Senang bisa mengenal dirimu  
Rasanya semua begitu sempurna Sayang untuk mengakhirinya  
Melawan keterbatasan Walau sedikit kemungkinan Tak akan menyerah untuk hadapi Hingga sedih tak mau datang lagi


Tiba-tiba teringat seseorang di sana, yang selama tiga tahun di SMA selalu bersama, saling menemani dan menguatkan..

Ada chemistry yang kuat, antara aku dan kamu. Ya, karena kita sama-sama cinta kimia. :)
Pertama kali tahun 2007, kita ikut Lomba mapel kimia waktu kelas satu. Perasaan deg-degan tiada tara, pertama kalinya mengikuti kompetisi di SMA. Pada akhirnya, kamu mampu membuktikannya, kamulah yang jadi juara satu, aku belum beruntung. Ternyata, kita mampu bersaing dengan siswa kelas 2 dan 3 lho..

Lalu, kesempatan kedua Febuari 2008, di kesempatan yang sama pula, tapi kali ini diadakan di FKIP Kimia UNS. Ingatkah? Perjalanan kita waktu itu? Izin meninggalkan sekolah, berangkat berdua naik motor ke kampus UNS, lalu berjuang bersama pula. Sebagai dua orang siswa Smansa Solo yang hendak mengadu kemampuan. Hmm, memang begitulah. Tampak semua orang terlihat takut dan ragu menatap kita, bukan apa apa. Karena titel smansa yang sudah dikenal sering memboyong piala. Padahal mereka tak tahu, kita hanya siswa kelas 2 SMA.. hehe.
Waktu itu, kita lolos 10 besar dari sekian peserta. Masuk semifinal --> praktikum kimia, 10 soal. Untuk pertama kalinya, aku dan kamu mencoba titrasi asam basa. Padahal di sekolah belum diajarkan, tapi alhamdulillah sudah sering mencoba berdua di lab kimia. Hmm, terlewati sudah, kita berdua masuk 5 besar. Dan alhamdulillah, kamu jadi juara pertama lagi, aku nomor 4 nya.. Salut.. Ingat pulang-pulang bawa piala, naik motor lagi. Lalu mampir ke toko sepatu, beli sepatu ade-ray, habis dapet rezeki.. :)

Tidak berhenti sampai di situ, Febuari 2008 pula, kita berangkat berdua ke ITS Surabaya, pupuk bawang ikut Olim Kimia Se-Jawa Bali Lombok. Bersama siapa? Kamu tau tentunya. Bersama dua orang senior kita, yang luar biasa hebatnya. Perjalanan solo-surabaya terasa sangat menyenangkan. Bersamamu, izin sekolah dua hari. Pulang pergi dengan kereta eksekutif gratis, menginap di asrama haji sukolilo surabaya. Bukan tentang kalahnya kita yang aku ingat, toh dari awal aku katakan, jadikan ini sebagai ajang coba-coba dan cari pengalaman. Kita masih kelas 2, artinya kalau bisa masuk 20 besar saja sudah bagus. Tapi inilah saatnya kita liburan dan merajut cerita indah masa depan, bahwa kita pernah ada di sini. 
Kisah nasi pocol, makan sekotak berdua karena dimakan kucing, menemani kedua senior kita berjuang seharian hingga meraih juara 3, ditinggal tidur dan dibiarkan sendiri mencari makan malam-malam, ditinggal pembimbing, hingga kesiangan bangun esok harinya lalu harus lari-lari pesan tiket ke stasiun. Ada lagi?
Ups, dua bungkus nasi pocol tanda ucapan maaf yang diletakkan di depan pintu kamar pagi-pagi. Dan turut berbangga hati, bisa memegang piala kemenangan, meski bukan punya sendiri.. :')

Lalu, kesempatan lainnya, lupa bulan apa ya, tahun 2008. Kita ikut OSN Kimia tingkat kota. Soalnya susah, selesai ujian kita menyocokkan soal, tapi rupanya hampir semua jawaban berbeda. Hingga akhirnya, alhamdulillah, aku dan kamu ada di nomor 1 dan 3. Masih ingat tak siapa nomor 2 nya? Teman kita yang unik itu, Driya. hehe. Yang jurus penenangnya terbawa hingga sekarang, 'tenang,,tenang,,tenang'. Alhamdulillah waktu itu aku sampai di tingkat provinsi, tentunya tak lepas dari semangat dan dukungan darimu, yang dari kota solo selalu mengiringi langkahku menuju semarang. Ini sok swit banget kata-kataku.

Kesempatan lainnya pula, tahun 2008, ikut lomba mapel kimia yang kedua. Gantian, kali ini aku yang jadi juara pertama, kamu di nomor 4 nya. Alhamdulillah. Tapi pengumuman dan pembagian hadiahnya sungguh-sungguh molor dari jadwal yang ditentukan. Waktu itu kelas 3, sedang jadi moderator acara di Studi Islam Intensif SMANSA, lalu dipanggil datang ke Dikpora. Antara senang mau dapet hadiah, dan sedih karena harus meninggalkan sebentar pesantren kilatnya. Pun berdua, melalui jalanan yang sepi dari asrama haji donohudan menuju Dikpora Solo. Ikut apel pembacaan juara dan pembagian tropi. Rupanya ibu yang membacakan nama terlihat sulit mengeja. Jadilah aku dipanggil Ennurmita, dan kamu Nafisa Munatsika.

Dan event lomba terakhir, Febuari 2009. Lomba kimia UNS edisi 2, lolos 10 besar lagi kita, lalu lolos final lagi. Pertama kalinya ikut final yang tipenya cerdas cermat. Begitu semangatnya aku memencet tombol setiap kali pertanyaan selesai dilontarkan. Maaf ya, waktu itu aku rakus, entah aku sudah menjawab berapa banyak soal. Bahkan tak kusisakan banyak kesempatan untuk pesaing lainnya. Hmm, kita pernah bilang kan, di luar kita teman dekat, sahabat, tapi dalam kompetisi, kita profesional. Alhamdulillah lagi, waktu itu mendapatkan piala paling tinggi yang sudah kuincar dari pagi. 
Lalu kita, pulang bersama, hujan-hujanan menaiki motor tercinta. Berdua saja, ditemani piala yang disembunyikan di bawah jas hujan. Menuju sekolah. Diakhiri dengan rehat sejenak di Masjid Annur smansa.

Dan kerjaan kita tiap kali melintasi lobi sekolah, melihat lemari yang isinya penuh dengan piala, adalah 'mencari-cari di mana piala kita?' Ya, ternyata akhirnya kita mampu membuktikan. Bahwa sejarah ke belakang, di mana kebanyakan hanya ikhwan ikhwan yang mampu berprestasi di sekolah, kita patahkan. 
Ingat sekali kata-katamu, "kita harus buktikan en, kalo akhwat juga bisa, jangan cuma ikhwan yang punya hak special di depan guru-guru". hehe. Of course, itulah aku dan kamu, sevisi, satu tujuan dan cita-cita. InsyaAllah.

Itulah rangkaian cerita kita, masih dalam ranah, 'kompetisi' dan 'kimia'. Sedang di luar itu, ada berjuta cerita lain yang mengendap di dalam ingatanku. Tapi kali ini ada sebuah cerita yang membuatku penasaran. hehe.

Tentang KOTAK.

Semoga selamanya selalu begitu, janganlah berganti..
Tetaplah seperti ini..

Semangat sayang, semoga do'a do'a kita sampai padaNya..
Ikatan kita sebagai pengingat dan penjaga..
Menjadi penjalin langkah menuju surga.. 
Because distant never separates two hearts that really care.. 

For you, Nafsa Muthmainna. Thanks. :)


Selasa, 26 Februari 2013

Peran Mahasiswa Kedokteran di RS


Ditulis untuk dipresentasikan dalam diskusi topik 'Personal and Profesional Developmpent'

Pendidikan kedokteran bertujuan untuk mendidik mahasiswa fakultas kedokteran melalui serangkaian pengalaman belajar untuk menyelesaikan suatu kurikulum pendidikan. Kurikulum pendidikan terbagi menjadi dua tahap, yakni masa preklinik dan klinik. Selama tahap preklinik, mahasiswa kedokteran diajarkan tentang ilmu biomedik, pengenalan dini masalah klinik, pembelajaran ketrampilan dasar, dan prosedur klinik yang baku. Selain itu, mahasiswa juga mulai diperkenalkan dan dilatih untuk mencapai kompetensi utama seorang dokter, yakni ketrampilan komunikasi efektif, empati, bioetik, dan medikolegal. Semua bekal yang didapat selama preklinik akan menjadi modal bagi mahasiswa kedokteran dalam menjalankan praktik klinik.
Dalam pelaksanaan praktik klinik, pembelajaran menjadi ‘patient-centered’, di mana proses belajar akan berlangsung di rumah sakit pendidikan atau pusat pelayanan kesehatan primer seperti puskesmas dan klinik. Yang perlu digarisbawahi adalah, dalam tahap praktik klinik, keselamatan dan kenyamanan pasien adalah yang utama.
Pendidikan kedokteran saat ini merupakan pendidikan yang berbasis kompetensi untuk mencapai kemampuan profesi klinik dan kedokteran komunitas. Selama praktik klinik, mahasiswa kedokteran akan berkontak langsung dengan pasien untuk mempelajari secara terintegrasi kaitan antara faktor resiko, patogenesis, serta beragam faktor fisik, psikologis, dan sosial yang menyertai patofisiologi penyakit.
Ada tiga poin penting yang harus dimiliki oleh seorang mahasiswa kedokteran, yakni knowledge, skill, attitude. Ilmu pengetahuan tentang kedokteran akan didapat dari pembelajaran selama tahap preklinik dan klinik, serta pembelajaran mandiri. Ketrampilan mengenai pemeriksaan fisik, menyuntik, memasang infus, akan didapatkan pula selama menempuh pendidikan kedokteran. Menurut Miller, tingkat kemampuan berbagai tindakan yang dikerjakan oleh seorang dokter diklasifikasikan dalam 4 tingkatan:
1.      Mengetahui dan menjelaskan
Lulusan dokter memiliki pengetahuan teoritis mengenai keterampilan ini baik konsep, teori, prinsip maupun indikasi, cara melakukan, komplikasi yang timbul, dan sebagainya. 
2.      Pernah melihat atau pernah didemonstrasikan
Lulusan dokter memiliki pengetahuan teoritis mengenai keterampilan ini baik konsep, teori, prinsip maupun indikasi, cara melakukan, komplikasi, dan sebagainya). Selain itu, selama pendidikan pernah melihat atau pernah didemonstrasikan keterampilan ini.
3.      Pernah melakukan atau pernah menerapkan di bawah supervisi
Lulusan dokter memiliki pengetahuan teoritis mengenai keterampilan ini baik konsep, teori, prinsip maupun indikasi, cara melakukan, komplikasi, dan sebagainya. Selama pendidikan pernah melihat atau pernah didemonstrasikan dan pernah menerapkan beberapa kali di bawah supervisi.
4.      Mampu melakukan secara mandiri
Lulusan dokter memiliki pengetahuan teoritis mengenai keterampilan ini (baik konsep, teori, prinsip maupun indikasi, cara melakukan, komplikasi, dan sebagainya). Selama pendidikan pernah melihat atau pernah didemonstrasikan, pernah menerapkan beberapa kali di bawah supervisi serta memiliki pengalaman untuk menggunakan dan menerapkan keterampilan ini dalam konteks praktik dokter secara mandiri.

Selama di tahap preklinik, mahasiswa kedokteran diajarkan untuk mampu mencapai tingkatan 1 dan 2. Ketika menginjak tahap praktik klinik, mahasiswa diharapkan mampu mencapai tingkatan 3 dan 4.
Kewajiban mahasiswa kedokteran selama menjalankan praktik klinik di Rumah Sakit atau layanan primer ialah:  
  •        Aktif mengembangkan potensi dirinya sesuai metode pembelajaran
  •         Mengikuti serangkaian pendidikan kedokteran
  •         Menjaga etika profesi dan etika rumah sakit serta disiplin praktik kedokteran       \ 
  •     Mengikuti tata tertib yang berlaku di lingkungan penyelenggara pendidikan kedokteran dan wahana pendidikan 
  •         Serta menghormati dan menjaga keselamatan pasien

Peran mahasiswa kedokteran di RS dan Klinik dapat diklasifikasikan menjadi:
Peran terhadap pasien dan keluarganya
Terhadap pasien dan keluarganya, mahasiswa kedokteran diharapkan mampu memenuhi wewenang seorang dokter seperti mewawancarai pasien, memeriksa fisik dan mental pasien, menentukan pemeriksaan penunjang, menegakkan diagnosis, menentukan penatalaksaaan pasien, pencegahan dan pengendalian penyakit, serta melakukan tindakan kedokteran. Dengan atau tanpa supervisi, mahasiswa kedokteran dituntut untuk selalu bersikap profesional di hadapan pasien dan keluarganya. Dengan begitu, pasien dan keluarga mempunyai gambaran yang komprehensif akan penyakitnya, yang tujuannya untuk meningkatkan prognosis, memperbaiki kualitas hidup dan fungsional pasien dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Mahasiswa kedokteran harus membangun interaksi yang baik, melalui ‘trust’ yang terjalin antara dokter muda dan pasien, terlebih lagi jika mampu menjadi sahabat baik bagi pasien.
Peran terhadap sejawat kedokteran
Di RS Pendidikan, mahasiswa kedokteran akan sering berinteraksi dengan sesama mahasiswa kedokteran, residen, hingga konsulen. Pendidikan kedokteran adalah pendidikan yang kontinyu dan berkesinambungan. Seorang dokter konsulen akan membimbing beberapa dokter residen, seorang dokter residen akan membimbing beberapa orang dokter muda. Semua tindakan yang dilakukan oleh dokter muda telah sepengetahuan dan pengawasan dokter yang berwenang, dan telah dilakukan atas persetujuan pasien. Secara umum, dokter muda hanya “melakukan tugas sederhana”, seperti memeriksa pasien, belajar mengawasi pasien, memasang tensi dan mengukur suhu pasien. Akan tetapi, semua ilmu dan ketrampilan yang didapat, perlu dikonsultasikan dengan dokter penanggung jawab, bahkan mungkin didiskusikan dengan konsulen, agar mendapatkan pemahaman yang terbaik dan terintegrasi mengenai kondisi pasien. Sesama mahasiswa kedokteran pun sebaiknya menjadi evaluator satu sama lain atas kekurangan yang dimiliki. Ketika menemukan sesuatu yang janggal atau salah, mahasiswa diharapkan mampu menjadi lini terdepan yang berani menegur atau mengingatkan sesama sejawatnya, serta mencari solusi bersama atas sebuah permasalahan sesuai dengan etika profesi kedokteran. Dengan demikian, akan tercipta pula hubungan yang harmonis antar sejawat kedokteran di mana satu sama lain saling membutuhkan dan melengkapi dalam rangka pendidikan yang kontinyu dan berkesinambungan.
Peran terhadap tenaga kesehatan dan tenaga pendukung     
Mahasiswa kedokteran yang sedang menjalani praktik klinik di RS atau klinik, tentunya akan sangat terpapar dengan berbagai tenaga kesehatan serta tenaga pendukung yang ada di sana. Tenaga kesehatan seperti perawat, apoteker, pengamat gizi, akan menjadi partner kerja seorang dokter. Selama klinik, mahasiswa atau dokter mudah dilatih untuk dapat membina hubungan yang baik serta membangun kerjasama dalam menangani pasien. Hal-hal seperti ini akan sering ditemui dalam praktik sehari-hari sebagai seorang dokter nantinya, sehingga hubungan baik harus mulai dibina sejak awal terpapar. Juga terhadap tenaga pendukung yang lainnya seperti, cleaning service dan satpam. Mereka adalah sahabat terdekat mahasiswa selama di RS. Mereka adalah orang-orang yang tergerak hatinya untuk membantu kita tanpa diminta. Sikap ramah dibalas dengan keramahan, senyum yang tulus pun dibalas dengan senyuman. Dengan menunjukkan attitude yang baik terhadap semua pihak, tentunya akan berdampak positif, karena akan menjadi ladang pahala, serta menjadi cerminan bagi masa depan kita ketika menjadi dokter nanti.
Peran terhadap institusi RS/Klinik
Terhadap institusi RS atau klinik, mahasiswa wajib mematuhi etika rumah sakit serta menjaga nama baik RS/Klinik terkait. Selain itu, mahasiswa kedokteran juga diharapkan aktif dalam memberikan saran dan kritik yang membangun, serta mendukung setiap kebijakan dan tata tertib yang berlaku di dalamnya. Dengan demikian, mahasiswa turut berperan serta dalam meningkatkan kualitas pelayanan RS Pendidikan maupun layanan primer, seperti puskesmas dan klinik. Pelayanan RS Pendidikan seharusnya lebih baik atau minimal sama dengan RS non pendidikan. Mahasiswa kedokteran harus mempunyai tekad kuat untuk membuktikan bahwa RS Pendidikan mampu memberikan pelayanan yang paripurna. Dengan mengupayakan untuk selalu bersikap baik dan profesional terhadap pasien, mahasiswa kedokteran juga turut berperan dalam meningkatkan mutu pelayanan di sebuah RS secara tidak langsung.
Peran terhadap pendidikan kedokteran
Mahasiswa kedokteran adalah komponen yang tak terpisahkan dari rangkaian pendidikan kedokteran. Dengan menunjukkan iktikad baik dalam menjalani praktik klinik, secara tidak langsung mahasiswa kedokteran memberikan ‘positive impact’ bagi pendidikan kedokteran. Keberhasilan mahasiswa klinik dalam memenuhi dan mencapai kompetensi lulusan dokter juga menjadi tolak ukur tersendiri atas berlangsungnya sistem pendidikan kedokteran, menunjukkan bagian-bagian mana yang perlu diperbaiki dan dipertahankan untuk mencetak generasi dokter-dokter terbaik Indonesia. Kompetensi lulusan dokter terdiri atas 7 poin kompetensi utama dan 3 poin kompetensi pendudung. Kesempatan belajar di RS/Klinik melalui ilmu yang didapat selama menempuh pendidikan kedokteran, serta mengaplikasikannya langsung ke pasien harus dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. Penyelenggara pendidikan kedokteran bertanggung jawab atas pencapaian poin-poin kompetensi lulusan dokter. Mahasiswa klinik juga diharapkan dapat mencoba untuk selalu aktif dan tanggap dalam menelaah setiap peraturan dan kebijakan yang telah dan akan dibuat, dengan tetap menjunjung tinggi etika profesi dan disiplin kedokteran.
Peran terhadap masyarakat, bangsa, dan negara
Ketika peran-peran di atas mampu dipenuhi, mahasiswa kedokteran akan mampu pula menjadi ‘agent of change’ di tengah masyarakat, bangsa, dan negara. Mengingat rumus momentum, di mana merupakan hasil kali massa dan kecepatan, kita sebagai mahasiswa kedokteran adalah tombak penting dalam menciptakan momentum besar dalam kemajuan dunia kedokteran dan kesehatan di Indonesia. Untuk mencapainya, dibutuhkan massa yang sangat banyak serta kemauan untuk terus bergerak, berkarya, dan memiliki kapasitas sebagai seorang dokter. Sosok mahasiswa kedokteran adalah sosok yang humanis, pantang menyerah, dan menjunjung tinggi kejujuran dan integritas, sehingga kelak, saat benar-benar telah menjadi dokter, maka akan muncul sebagai dokter yang profesional, memiliki sensitivitas etika mulia, beradab, dan berbudaya. Pada intinya, peningkatan kualitas kesehatan masyarakat berawal dari kemauan mahasiswa kedokteran untuk terus mengasah dan memberikan kontribusi terbaiknya, dengan belajar belajar dan belajar. Momentum bangsa ini menunggu sekumpulan massa yang sangat banyak dan juga berkualitas. Itulah peran dan tantangan utama mahasiswa kedokteran, tentang bagaimana belajar menjadi dokter yang kompeten dan profesional, serta mampu bekerja secara sosial bukan individual, demi meningkatkan taraf kesehatan penduduk Indonesia.

Kompetensi Kita :)


Kompetensi yang diharapkan dicapai oleh lulusan FKUI adalah:

A. Kompetensi Utama
(sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan secara nasional dalam Standar Kompetensi Dokter)
1.    Keterampilan komunikasi efektif
2.    Keterampilan klinik dasar
3. Keterampilan menerapkan dasar-dasar ilmu biomedik, ilmu klinik, ilmu perilaku dan epidemiologi dalam praktek kedokteran keluarga
4.  Keterampilan pengelolaan masalah kesehatan pada individu, keluarga maupun masyarakat dengan cara yang komprehensif, holistik, bersinambungan, terkoordinir dan bekerjasama dalam konteks pelayanan kesehatan primer
5.    Memanfaatkan dan menilai secara kritis teknologi informasi
6.    Mawas diri dan pengembangan diri dengan belajar sepanjang hayat
7.    Etika, moral dan profesionalisme dalam praktek

B. Kompetensi Pendukung
1.    Riset
2.    Pengelolaan kegawat-daruratan kedokteran dan kesehatan
3.    Manajemen pelayanan kesehatan

Sumber: Diambil dari Kurikulum berbasis kompetensi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2005