Rabu, 30 April 2014

Hai Bintang!



Hai bintang. Masih bersinarkah di sana?


Izinkan aku percaya. Bahwa sampai kapanpun, kau akan tetap menggantung di tempatmu biasa berada. Hingga aku tak perlu berderap cemas mencari titik terjelas untuk menatapmu.

Izinkan aku percaya. Bahwa sejenak kepergianmu, semata hanya karena awan kelabu yang menutupi. Segera setelah hujan turun, kembalilah menampakkan diri.

Izinkan aku percaya.

Dan aku akan mengizinkanmu percaya. 
Bahwa aku akan tetap menunggumu selepas senja.
Saat malam tiba, saat hujan reda.
Sampai pada suatu saat di mana, tak ada jarak yang memisahkan kita. 
Aku percaya.

Tetaplah bersinar! 
Agar dunia tau, bahwa kau tak pernah lelah -apalagi menyerah- membagi terang pada semesta.
Agar dunia tau, bahwa Penciptamu begitu luar biasa. 
:) :) :)

Selasa, 22 April 2014

My Lovely Little Teachers





Pernahkah kamu bermain dengan anak-anak? Terkhusus lagi, balita?
Pernah mendengar, atau membuatnya menangis, lalu mampu mendiamkannya?
Berhasilkah?
Kalau dia mampu kembali tersenyum padamu, rasanya puas, lalu merasa mampu menaklukannya.
Ya kan?

Untuk yang satu ini, saya sendiri sempat merasa mati gaya. Bahkan hampir kehabisan akal untuk mendiamkannya. Untuk yang satu ini, ‘Memeriksa Pasien Anak’.
Membangun rapport yang baik pada awal pertemuan adalah kunci membangun kepercayaan dan hubungan yang baik antara dokter-pasien. Namun agaknya, untuk pasien spesial seperti mereka, perlu cara yang special pula untuk mendekatinya.
Menyampaikan maksud hati yang ingin sekali berkata, “Tenanglah sayang, aku tak akan melukaimu..” 

Kenyataannya tak semudah itu. Mereka hadir dengan keunikan yang beraneka rupa. Senyumnya, tangisnya, tatapannya, sentuhannya, bahkan kata-kata yang terucap dari mulutnya, menyimpan makna. Mungkin ‘periksa ke dokter’ adalah momen menyeramkan bagi mereka. Apalagi kalau harus minum obat yang rasanya tidak enak itu. Hingga seringkali, secerewet-cerewetnya mereka, seaktif-aktifnya mereka di luar sana, bisa berubah menjadi kebalikannya ketika berhadapan dengan dokter. Karena dua hal, pertama karena sedang sakit, kedua karena takut periksa ke dokter.

Tentunya hal itu tak boleh menjadi alasan untuk seorang dokter untuk ‘menyerah’. Apalagi untuk seorang dokter muda sepertiku, yang masih minim pengalaman dan minim pengetahuan. Masih perlu anamnesis yang panjang dan pemeriksaan fisik yang lengkap untuk menegakkan diagnosis.

Dimulai dengan menyapa, mengajaknya berkenalan, menanyakan apa keluhannya, lalu memintanya menunjuk bagian yang sakit. Kalau mereka mulai takut, mencoba mengajaknya bercanda. Atau menanyakan tentang hal yang lain, kalau mereka sudah lancar berbicara. Atau kalau belum bisa, beraksi sejenak. Dengan cara apapun. Sesekali mereka diam, atau tetap saja ketakutan. Ibu dan ayahnya menjadi segala sumber informasi. Dalam satu waktu, bisa tiba-tiba tersenyum dan ceria, tiba-tiba pula berwajah tersiksa. Kalau sudah benar-benar menangis tiada henti, hmm. Apa yang akan kamu lakukan? Jawabannya, "Teruskan saja." Sambil mencoba berbagai jurus dan daya tarik untuk menenangkannya. Hehe.
Kalau sedang periksa di poli, satu saja ada pasien yang menangis, seluruh anak di ruangan itu bisa ikut menangis. Terbayang bagaimana ramainya?

Yah, tapi itulah tantangannya. Ketika harus mendapatkan data sebanyak-banyaknya, meskipun dia –pasien kecil nan imut itu- meronta sejadi-jadinya. Itulah tantangannya. Itulah serunya.
Thank you dear, for giving me a lot of knowledges. My lovely little teachers. :)

Kerang Mutiara






Dari dulu, saya suka analogi kerang mutiara.
Dia hidup di dasar laut yang dalam lagi gelap.
Semakin sulit dicari, semakin mahal harganya.
Tak tersentuh dan terjamah oleh siapapun.
Kecuali oleh orang yang berani menyelam sedalam itu.

Mutiara itu, adalah buah dari kesabaran, ketangguhan, dan kecerdasannya.
Dalam menghadapi berbagai rintangan di dalam sana.
Tak pernah mengeluh, tak pernah menyerah.

Begitulah prinsipnya,
“Sampai saat itu tiba, tetaplah berada di kedalaman terdalammu.”
Karena muslimah itu, layak untuk menjadi secantik ‘kerang mutiara’.