Rabu, 01 Oktober 2014

Kamu


Suatu hari..
"Kalo gitu, mau dong diajarin."
"Ada juga kamu yang ngajarin aku, kan kamu yang pinter."
"Engga. Kamu yang pinter."
"Kamu lebih pinter."
"Tapi dulu aku ga pernah dapet ranking 1 atau 2 selama sekolah."
"Tapi kamu hebat, sering jadi juara di luar sekolah."
"Itu beruntung namanya. Itu dulu."
"Gak ada istilah beruntung, itu bentuk ikhtiarmu yang terus menerus, doamu yang tak pernah putus, dan tawakal dengan hati yang tulus.."


"Kalau aku merasa beruntung memilikimu, artinya?"
"Itu bukan keberuntungan. Tapi bentuk ikhtiarmu pula.."
"Kalau begitu, masing-masing dari kita adalah buah ikhtiar satu sama lain."
"Ya, ikhtiar dalam mengusahakan kebaikan dan mengharapkan yang terbaik untuk selalu berjalan bersama dalam kebaikan. Semoga begitu."
"Dan kata Allah, itu kamu."
"Juga kamu."
"Yang akan menemaniku untuk selalu berikhtiar terus menerus, berdoa tak pernah putus, dan bertawakal dengan hati yang tulus.."
"Berjuang bersama, hingga maut memisahkan, hingga surga mempertemukan."
Di bawah langit, di atas bumi.

:) :) :)

Sepenggal Cerita


Namanya Ibu Sarip. Penjual nasi uduk di dekat kosan. Kira-kira usianya kini lebih dari 70 tahun.
Aku mulai mengenal beliau sejak awal tinggal di kosan Sayuti, tempat tinggal sejak semester 4 hingga saat ini.

Rumahnya tak jauh dari kosan, hanya beda gang. Biasanya berjualan di pinggir jalan Sayuti, tepat setelah belokan jalan menuju gang Sayuti 2, tempatku tinggal.
Sebenarnya jarang-jarang beli nasi uduk si Ibu, hanya jika ingin saja. Tapi menurutku, nasi uduk buatan Ibu Sarip ini paling enak dari semua nasi uduk yang pernah aku beli di Jakarta. Kue-kuenya juga menarik.


Si Ibu biasanya berjualan mulai pukul 06.15 sampai jam 10.00. Ditemani oleh suaminya yang usianya tak jauh berbeda. Alhamdulillah keduanya masih diberi nikmat sehat. Haru dan ikut bahagia, mendengar cerita Ibu tentang masa mudanya. Tentang si Bapak yang lebih jago memasak, tentang Ibu dan Bapak yang sering gantian belanja ke pasar.

Tak lupa menyapa setiap pagi, ketika akan berangkat ke kampus.
"Pagi ibu.."
"Oh iya sayang. Ati-ati ya.."

Seringkali aku terpikir untuk membeli karena ingin bertanya kabar dan bertukar cerita saja. Si Ibu tak pernah lupa menyediakan sendok plastik untuk jaga-jaga kalau aku datang membeli. Singkat cerita, dulu aku lah pembeli pertama yang minta dibawakan sendok plastik. Rata-rata pembeli kan warga sekitar, yang makannya dibawa pulang.
"Maaf ya sayang, sendok plastiknya habis. Kemaren Bapak yang ke pasar, lupa beli.."
"Oh iya, ga apa-apa bu, nanti cari di kampus aja."
"Sukses kuliahnya sayang.."
"Iya, makasi Ibu."

Ibu Sarip berjualan setiap hari kecuali hari Senin. Hari Senin adalah jadwal beliau kontrol ke Puskesmas, bersama suaminya. Kadang menceritakan hasil kontrolnya padaku, tentang kondisinya, atau suaminya. Aku hanya menyarankan agar kontrol teratur.

Sampai suatu ketika, kami bertemu di acara Pengobatan Massal di dekat kosan. Sekitar bulan Juni lalu. Sebenarnya lokasinya agak jauh, tapi aku heran karena dari semua pasien, ternyata ada tetangga-tetangga dekat rumah juga. Malu rasanya. Begitu juga Ibu Sarip.
"Eh ada dokter. Ibu mau sama dokter aja deh.."
"Oh iya boleh, sini Bu.."
Dengan panjang lebar Ibu cerita. Sampai-sampai perlu waktu yang lebih lama dari pasien lainnya. Mau tak mau, aku yang memotong pembicaraan ketika mulai ke mana-mana.
"Makasi ya Dok. Nanti suami saya ke Dokter juga yaa."
"Iya boleh bu. Semoga sehat terus ya bu. Jangan lupa minum obat dan kontrol teratur.."

Semenjak saat itu, si Ibu memanggilku dengan sebutan yang berbeda, 'Dokter'.

Setiap kali kusapa, bukan sapaan sayang lagi yang aku dapat. Pernah suatu hari, aku sedang berjalan menuju kampus. Tanpa kusadari, Ibu yang sedang jalan, melihatku dari belakang. Tiba-tiba aku mendengar ada yang berteriak.
"Dok, berangkat ya? Hati hati dok.."
Menoleh ke belakang, "Iya bu, saya berangkat ya. Assalamu'alaikum"

Malu-malu karena didengar tetangga yang lain juga. Hehe.

Dan sejak saat itu juga, si Ibu selalu memberiku bonus ketika aku membeli makanannya.
"Ini buat Bu dokter yaa, Ibu tambahin.."
"Ga usah bu, udah cukup ini.."
"Gapapa, buat bekal."
"Wah Ibu, makasi banyak yaa.."
Sampai-sampai kalau ada teman kosan yang tau aku beli nasi atau kue-kue, ditanya 'dapet bonus lagi en?'. Begitulah. Padahal niatnya, ingin tanya kabar. Sering diajak main ke rumahnya, tapi belum kupenuhi sampai sekarang.

Seminggu yang lalu, aku mendapati Ibu tidak jualan satu hari. Digantikan oleh tetangganya. Setelah kutanyakan, ternyata Bapak lagi sakit jadi harus mengantar ke klinik 24 jam.
Keesokan harinya, ketemu si Bapak di jalan.
"Bapak, katanya kemarin sakit. Gimana sekarang, Pak?"
"Alhamdulillah udah baikan."
"Alhamdulillah.."

Karena lama tak bercakap-cakap dengan Ibu, kemarin Allah pertemukan kami. Ibu sedang berjalan menuju pasar, aku sedang berjalan menuju kampus. Tujuan kita berlawanan. Karena tak tega membiarkan Ibu menyeberang sendirian, dalam kondisi jalan yang cukup rame, akhirnya kuseberangkan sampai datang angkot. Di saat itulah aku sempat menanyakan lebih jauh tentang kondisi suaminya. Alhamdulillah nampak sudah lebih baik.

Hingga hari ini, saat tadi pagi aku akan mengantarkan seorang teman menuju IGD RS (ecausa dispepsia dan diare akut dengan dehidrasi sedang) naik bajaj. Aku sempat meminta pak supir menunggu sejenak di pinggir gang, sementara aku berjalan memanggil teman yang tak kuat berjalan. Kusempatkan menyapa si Ibu.
"Ibu.."
"Iya, mau ke mana Dok?"
"Mau nganterin temen Bu, lagi sakit."
Setelah aku dan temanku naik bajaj, si ibu memanggil lagi. Lalu berjalan ke arahku sambil membawa plastik berisi sesuatu.
"Dok, ini Ibu bawain, buat sarapan. Hati-hati ya.."
Masyaa Allaah..

Tiba-tiba teringat hadist Arba'in 15.
"Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia menghormati tetangganya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya." (Riwayat Bukhori dan Muslim)

Kukatakan pada diriku. Bahwa sebelum aku meninggalkan kosan dan semua kenangan di gang Sayuti, aku harus berfoto dulu dengan Ibu.


Ceritaku tentang Ibu Sarip, adalah sepenggal cerita tentang kehidupanku di kosan. Alhamdulillah, bahagia rasanya memiliki tetangga kanan kiri yang luar biasa baiknya. Begitu banyak pelajaran berharga yang tak terlupakan. Tak salah kalau aku menyebutnya Kosan Sayuti, Baiti Jannati.

Thank you, Allah.