Jumat, 27 Mei 2011

Sebiru rindu

Dalam dekap hangat yang kudamba
Aku merindukan kalian

Bersabar untuk 10 minggu ke depan
Semoga dimudahkan
Aamiin

Ayahku luar biasa

“Kamu kenapa?”

Buru-buru kuhapus air mataku, melihat seorang teman yang memergoki diriku sedang berkaca-kaca di sudut kampus. “Nggak papa kok, cuma lagi bosen aja. Kenapa hidup di kampus, gini-gini aja ya. Banyak kerjaan sana-sini, ribet sana-sini.”

Astaghfirullah, ketahuan. Padahal bukan itu yang kupikirkan, tapi seseorang yang jauh di sana. Yang setiap nafasnya, selalu mengalirkan do’a untuk putrinya. Dialah Ayahku. Ayah yang luar biasa di mataku. Ayah memang jarang menelepon akhir-akhir ini, katanya tak ingin menggangguku. Aku pun tak ingin mengganggunya. Dua hari sekali, seminggu dua kali, bahkan kini dua minggu sekali.

Rasa rindu ini semakin membiru, sudah lama tak ditelepon. Karena ikatan hati, malam itu hand-phoneku berdering. Akhirnya, ayah telepon juga.

”Nak, sedang sibuk apa? Udah lama nggak ngobrol. Kuliahnya baik-baik aja kan?”

“Nggak kok yah, cuma baru banyak yang diurusin. Alhamdulillah lancar kuliahnya.”

“Alhamdulilllah. Oh iya, kemarin ayah belikan kamu notebook, biar gampang dibawa. Katanya mau jadi penulis buku kan? Menulis di mana saja?”

Tak mampu aku berkata. Ayah masih ingat? Padahal saat itu ayah diam, seolah tak merespon serius apa yang kukatakan, tentang cerita mimpi-mimpiku yang konyol saat pulang kampung. Aku tahu, dari dulu ayah selalu berusaha agar imajinasi dan impianku tak hanya menjadi angan-angan, hilang terseret waktu. Tapi dapat kuwujudkan di kemudian hari. Dan ayah selalu mendukung itu, apapun.