Seringkali -entah sudah berapa kali- aku harus memutar otak berkali-kali, ketika ingin memilih kata yang tepat untuk menanggapi cerita mereka. Lelaki dan perempuan.
Perempuan akan merasa cukup
lega ketika didengar apapun yang ingin dia ceritakan. Dari mulai yang penting,
setengah penting, atau tidak penting. Baik yang bertema senang, sedih, lucu, apapun juga. Dukungan dalam bentuk refleksi perasaan
akan membuatnya semakin tertarik untuk bercerita. Apalagi jika bisa menemukan ekspresi mimik yang mendukung suasana hatinya.
"Wah, seru banget..""Oh iya, khawatir boleh. Tapi cobalah sewajarnya.""Aku mengerti perasaanmu. Kamu pasti sedih.""Kalau kita duduk di sana, mungkin rasanya akan lebih nyaman."
Barulah setelah itu, setiap komentar, saran, dan masukan yang ingin disampaikan, menjadi lebih mudah didengar dan dicerna oleh mereka. Penyatuan persepsi adalah ketika kita mulai bisa merasakan hal yang dia rasakan.
Sedangkan lelaki. Bagiku
lebih sulit memahaminya, ketimbang perempuan. Tapi tak ambil pusing karena
mereka, manusia yang terkadang menomorduakan perasaan. Biasanya akan cerita
jika memang sedang perlu dukungan akal atau teman diskusi. Sejauh mereka diam saja, artinya masih mampu menyelesaikan sendiri tantangannya. Refleksi isi mungkin lebih
tepat untuk mereka.
"Kamu hebat. Apa yang kamu lakukan itu luar biasa."
"Emm, kamu sudah mencoba. Aku pikir, itu pilihan yang tepat."
"Bagaimana kalau kita coba, begini?"
"Aku setuju pendapatmu, ga ada yang salah, tapi sepertinya ada yang kurang pas.”
Begitulah lelaki. Terkadang
pula tak perlu banyak masukan atau nasihat. Karena logikanya yang selalu
berjalan-jalan mencari solusi atas permasalahan. Penyatuan persepsi adalah
ketika kita mulai bisa memahami apa yang dia pikirkan.
Menarik bukan?
Maka ketika ingin
membicarakan hal yang ‘penting’ kepada mereka pun, kita harus mengetahui
‘timing’ yang tepat.
Ketika perempuan sedang
sensitif, akan sulit sekali untuk diajak bicara dan mengambil tindakan.
Tunggulah hingga reda, baru katakan. Atau jika mampu, tanyakan apa yang sedang
dia alami.
Ketika lelaki sedang banyak
pikiran, akan sulit sekali untuk diajak bicara dan membahas sesuatu yang butuh
perhatian. Tunggulah hingga ia kembali dari diam. Lalu katakan perlahan.
Betapa banyak kejadian,
ribut-ribut antara lelaki dan perempuan, berawal dari ketidakpahaman.
Perempuan merasa, lelaki tak
perhatian, tak berperasaan, mudah lupa, dia tidak menyenangkan, atau terlalu pendiam. Apapun.
Padahal seringkali, lelaki tak merasa ‘ada yang salah’ dengan dirinya, juga tak
‘memikirkan hal yang sama’ dengan dirinya. Lalu perempuan itu makin terbawa oleh perasaannya. Padahal seringkali, lelaki tak merasa ada yang harus diperbaiki, tak tahu bagian mana yang tercela.
Lelaki merasa perempuan
terlalu sensitif, terlalu khawatir berlebihan, terlalu mudah berubah –kadang
cerewet tiada akhir, kadang cemberut tanpa pikir-. Lalu lelaki itu berpikir, perempuan banyak maunya, sulit dimengerti jalan pikirannya. Padahal seringkali,
perempuan hanya minta waktu sejenak untuk dihargai keberadaannya.
Terlalu menarik memang,
menghadapinya.
Kunci semua itu, sebenarnya adalah ketika kita sama-sama bisa
menerima ‘value’ yang ada, bahwa sejatinya lelaki dan perempuan itu berbeda,
serupa tapi tak sama.
Dan terkadang, terlalu
sering mendengar cerita dan berbagi pikiran bersama mereka, membuatku merasa
amat bersyukur, mampu sedikit demi sedikit memahami adanya ‘perbedaan’ itu. Learning by doing.
Mengambil pelajaran, untuk
masa depan.
Untuk orang-orang tersayang kini dan nanti, agar mereka tak perlu jauh-jauh mencari, ke mana tempat berbagi. For all of you, dear, I'm here. InsyaAllah. :)
Ini
baru bicara tentang lelaki dan perempuan, belum lagi bicara karakter seseorang.
DariNya aku belajar, untuk selalu mendengar. Karena sampai kapanpun, Allah akan
tetap menjadi Pendengar yang terbaik, tak berubah walau sedetik.