Senin, 29 Juli 2013

Cerita Sore


Sore ini, saya -bukan secara kebetulan- dipertemukan dengan seorang teman lama, yang sudah saya anggap sebagai kakak saya sendiri. Seorang akhwat yang luar biasa menurut saya.

Pertama kali, saya berkenalan dalam sebuah keluarga bernama FIRMAN. Forum Lingkar Remaja Masjid Se-Kecamatan Jaten. Hehe.
Sebenarnya dulu, saya bukan seorang muslimah yang aktif di masjid, mungkin hanya sesekali saja saya menampakkan batang hidung saya ketika ada momen-momen penting seperti hari raya dan bulan puasa. Hingga waktu itu, menjelang ujian SMP, saya dengan sengaja digabungkan dalam sebuah kelompok mentoring di masjid dekat rumah. Bersama teman-teman seumuran.
Kira-kira 3 kali saya tak pernah absen, saya dipindah ke kelompok lain. Biasanya mentoring di masjid, sekarang di rumah seorang akhwat, yang sudah saya anggap sebagai kakak sendiri juga.
Di kelompok yang baru ini, saya ditakdirkan Allah berjumpa dengan orang baru. Tiga orang saudari baru yang kesemuanya lebih tua dari saya. Senang rasanya, menjadi yang paling muda, paling disayang. :)

Lalu dari sanalah, akhirnya saya sering terlibat di agenda keluarga baru saya itu. Mungkin lebih tepatnya, ketika memasuki SMA. Mengadakan acara dari masjid ke masjid, mengenal yang namanya raker, dan segala suka dan dukanya berjuang ketika rasa lelah dan malas datang. Menjadi yang termuda di tengah kakak-kakak yang tengah beranjak dewasa itu luar biasa rasanya. Ibarat kata, selama ini saya begitu mengidamkan punya seorang kakak dalam hidup saya, dan Allah memberinya bukan hanya satu.

Setiap perjalanannya membuat saya mengharu biru. Ketika saya mengenal mereka satu per satu, lebih dekat.
Ada seorang akhwat, yang jaraknya hanya setahun di atas saya. Memutuskan untuk tak melanjutkan bangku SMA dan memilih untuk bekerja menghidupi ayah dan ibunya di rumah, itu luar biasa menurut saya. Dengan bekal sebuah sepeda, yang ia selalu gunakan kemanapun seruan dakwah memanggilnya. Rumahnya, di tepi sawah. Ya, dan saya sangat suka mengunjungi rumahnya. Bahkan sempat mengadakan acara jagung bakar bersama di sana. Sekarang sudah menikah, memiliki anak berusia 2 tahun. Beliau inilah yang tadi sore bertemu saya. Setelah sekian lama tak berjumpa, bahkan waktu itu saya tak sempat menghadiri walimahannya karena akademis. Beliau yang dulu sempat bertanya, "Dek, mau ya jadi adekku?"
Mbak, rasanya belum puas bertemu. Terimakasih sudah menggoncengkanku ke mana-mana. Meskipun naik motor rasanya lebih nyaman, tapi bersamamu lebih bermakna.

Lain lagi, dengan seorang ikhwan yang usianya terpaut jauh dari saya. Mungkin 5 atau 6 tahun. Beliau seorang lulusan sekolah pelayaran, sempat bekerja di bidangnya, tetapi memutuskan untuk keluar. Begitu istiqomahnya beliau, memilih untuk bekerja di pom bensin. Menggunakan seragam rapi dan selalu tersenyum menyapa pemilik kendaraan yang hendak mengisi bensin. Katamu, di sana ladang dakwahnya lebih luas. Awalnya tak percaya, tapi mata ini tak bisa dibohongi, ketika aku melihatnya sendiri. Terakhir beliau lewat di depan rumah saya dengan anaknya yang masih kecil, 1 tahun kira-kira.
Waktu itu bapak juga sempat bilang, waktu isi bensin di pom tempatnya bekerja, beliau bertanya, "Dek dia gimana kabarnya?" Terimakasih masih mengingatku mas.

Atau seorang akhwat yang ini, dia kelahiran 1988. Dia bekerja sebagai pramuniaga. Meskipun begitu, tak menghalangi semangatnya untuk tetap meraih ilmu. Tak pernah absen liqo. Selalu hadir kajian ilmu di manapun. Beliau yang paling sering menemani saya, yang haus ilmu kala itu. Menjadi teman diskusi kehidupan, karena beliau sudah cukup menelan asam garam. Hingga waktu saya begitu ingin ikut program tahsin sebuah masjid, beliau pula yang semangat mendukung dan menyertaiku. Akhirnya, berdua menghabiskan dua kali seminggu untuk ikut tahsin. Berdua yang paling muda, bersama peserta-peserta lain yang tengah memasuki usia di atas 3 dekade. Beliau pula yang begitu semangat menuntut pendidikan, mengikuti program sekolah setara SMA yang masuk tiap sore. Dari kabar terakhir, saya hanya tahu beliau sudah menikah dan kembali ke kampungnya, di Pacitan. Mbak, kenapa ga ada kabarnya, where are you?

Dan begitu banyak sosok kakak yang sangat saya kagumi di sana, FIRMAN. Setiap kalian begitu berharga, menorehkan warna warni dalam hidup seorang Enninurmita. Terimakasih telah mengajarkanku makna dewasa, memberiku banyak pelajaran tentang hidup.
Saya bersyukur, menjadi yang paling muda karena saat itulah saya bisa menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Menjadi bekal saya melangkah hingga mampu menjadi sekuat sekarang.

Saya, yang memilih untuk bersekolah yang tinggi, seperti pesan-pesanmu.
Saya, yang membentangkan jarak di antara kita. Ingat betul rasanya, saat saya pamit akan berangkat ke Jakarta 4 tahun lalu.
Saya, yang memilih untuk keluar dari zona nyaman saya.
Saya, ya saya, yang begitu rindu akan saat-saat itu. Begitu banyak titik di mana saya merasa, tak boleh sedikitpun berhenti untuk, 'bersyukur'.

Dia sayang kalian karena Allah. Alhamdulillah. Terimakasih Allah, atas setiap kesempatan yang Kau beri. Menjadi satu dari sekian banyak alasan untuk terus melangkah pasti. Menatap masa depan.. :')







1 komentar:

Unknown mengatakan...

http://mutiarahikmah.com/shalihah/bila-wanita-harus-berkarir-baila-harus-wanita-bekerja/

Bila Wanita Harus Bekerja & Berkarir
Mengenai hak wanita untuk bekerja, harus ditegaskan sebelumnya bahwa Islam memandang tugas wanita sebagai ibu dan isteri adalah sebuah peranan yang sangat suci, penting, dan tidak akan bisa tergantikan sama sekali. Sosok pembantu, kehadiran baby sitter, sama sekali tidak akan dapat menggantikan tugas seorang ibu sebagai pendidik anak yang secara luas membentuk masa depan ummat dan bangsa.
Memang benar, tidak ada satupun ketetapan dalam Islam yang shahih jalur periwayatannya dan sharih (secara jelas) melarang wanita untuk bekerja manakala ada kondisi yang sangat mendesak untuk itu. Misalnya, karena ia adalah seorang janda atau diceraikan suaminya yang harus menghidupi dirinya sendiri, sedangkan pada saat yang sama tidak ada seorangpun yang menanggung kebutuhan ekonominya, dan dia sendiri dapat melakukan suatu usaha untuk menjaga kehormatan dirinya dari minta-minta dan menunggu uluran tangan orang lain.
Atau terkadang keadaan pihak keluarga yang mengharuskan seorang wanita untuk bekerja, seperti membantu ayahnya yang sudah berusia lanjut – sebagaimana dalam kisah nabi Musa di negeri Madyan bersama dengan dua orang putri nabi Syuaib, yang menggembalakan kambing ayahnya, seperti dalam Al-Qur’an surat al-Qashash (ayat ke 23) : -

“Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya”
Namun yang harus diperhatikan adalah, jikapun harus bekerja di luar rumahnya, seorang wanita dituntut untuk memperhatikan persyaratan sebagai berikut agar usahanya untuk menjemput rezeki tersebut dimudahkan oleh Sang Pemberi Rezeki. Diantaranya :

Posting Komentar