Sabtu, 09 Juli 2011

Kangen Solo

Saya sedang rindu Solo, kota tempat saya dilahirkan. Meskipun saya tinggal di pinggir kota Solo, tapi saya cinta Solo sepenuhnya.. :)

Tiba-tiba saya teringat keramahtamahan seorang nenek yang dipertemukan oleh Allah siang itu. Dalam suatu kecelakaan kecil di jalan utama kota Solo, Jalan Slamet Riyadi.

Saat kepulangan saya ke Solo, saya menyempatkan mampir ke rumah seorang sahabat, Nita. Siang hari itu, tak terlalu panas, saya mengendarai motor kesayangan saya ke arah kota Solo. Kampung Batik Kauman, pusat batik Solo. Kebetulan rumah teman saya di sana, hingga mengharuskan saya melewati jalan Slamet Riyadi, jalan yang paling lebar di kota Solo.

Setelah sampai di sana, kami berniat ingin ke Coyudan, pusat toko-toko aneka ragam barang yang cukup terkenal. Boneka Beruang, itu yang saya cari. Kami ingin memberi kejutan untuk seorang teman yang sedang berulang tahun.

Baiklah, satu buah boneka beruang coklat besar, yang besarnya hampir setengah tubuh saya. Berhasil kami bawa pulang.

Karena bawa motor sendiri-sendiri, akhirnya... Saya lah yang memutuskan membawa boneka itu di atas motor. Saya dudukkan di bagian depan, seperti memangku anak kecil.

Awalnya biasa saja, meski saya menjadi sulit untuk menggerakkan stang motor ke kiri dan ke kanan. Seperti ada yang mengganjal, apalagi saya mengendarai dengan satu tangan.

Di perempatan jalan, saya ambil jalan ke kanan, ke arah Slamet Riyadi kembali. Jalan ini unik, karena dilalui rel kereta api di tepi kanannya dna masih aktif.

Sayangnya, saking seriusnya saya memegang "Enthung" (nama bonekanya), saya tak sadar membelok terlalu ke kanan, hingga saat itu saya sukses berada di tengah-tengah rel kereta api. saya ingat pesan bapak, "Kamu kalau lewat rel, jangan sejajar. Tegak lurus. Kalau sejajar, pasti kepleset, ati-ati bisa jatuh." :'(

Saya takut. Meskipun terdengar berlebihan, saya memang takut. Bahkan saya tak lagi berpikir, orang-orang di luar sana sibuk melihat ke arah saya yang sedang aneh di tengah rel. Saya hanya ingin mencoba keluar dari rel ini, tanpa kepleset atau jatuh atau bahkan terseret.

Saya coba sedikit demi sedikit, pelan-pelan. Tiap kali ban motor saya belokkan ke rel, motor saya oleng. Dengan modal nekat dan pikiran sederhana (kalau ngebut, pasti gesekan rel bisa dikalahkan dengan gesekan aspal, kalaupun jatuh pasti jatuh di tempat), akhirnya saya kebut ke arah luar rel. Walhasil, saya jatuh ke arah jalan raya, sempat terseret sedikit. Saya pasrah, kalau-kalau ada yang menabrak saya dari belakang. Hehe.

Gubraaaak! "Nitaaaa!", teriak saya. Dia berjarak cukup jauh dari saya. Sadar akan posisi saya, dia berbalik.

Saya berpikir, tidak akan ada yang menolong saya, karena jatuh saya tidak wajar. Aneh. Kecelakaan tunggal dan simpel. Tapi berhasil membuat saya takikardi, mungkin aritmia sesaat, mengaktifkan seluruh persarafan simpatis dalam tubuh. Pucat.

Ternyata, dua motor di belakang saya berhenti. Lalu dengan legowonya membantu saya menepi. Membantu saya berdiri, bersama seorang nenek-nenek berseragam oranye.

"Maturnuwun, Pak."
"Pripun, mboten napa-napa to?"
"Mboten pak, maturnuwun."
"Ngati-ati nggih mbak."
"Nggih, Pak."

Lalu bapak tersebut pergi dan satu motor yang ikut berhenti pergi.
Saya sudah ditemani teman saya dan nenek berseragam oranye itu, tentunya masih di pinggir jalan Slamet Riyadi. Deg-degan.

"Pie mbak?" kata teman saya.
"Wis gak popo, balik ning omahmu we ya nduk?"
"Yo, ayo.. Untung wis cedhak omah."
"Sik dilit, jik deg-degan."

Akhirnya, saya pamit kepada nenek yang dari tadi masih di sebelah saya. Tapi keduluan disambut oleh sang nenek.

"Ngombe sik ya mbak, ben ayem atine."
"Pun mboten sah bu, kula mantuk mawon."
"Ora popo, sik tak jupukne nggih."
"Mboten sah bu, malah ngrepoti.."
"Sik-sik." (mengambil sebotol aqua dari balik pohon)
-----------------------------------------------------

"Iki nduk, mimik sik. Ben ayem atine, pucet iku."
"Mboten bu, kula mantuk mawon, sampun celak griya."
"Ora popo, mbahe ora penyakiten nduk. Niki, dimimik riyin."

Sekuat apapun saya menolak, saya tetap tidak bisa. Saya tak tega melihat kebaikan nenek ini, yang di usianya yang senja, masih berprofesi sebagai tukang parkir. Dengan pakaian oranye dan jarik jawanya.

"Ki nek wedi, tak lap-e nduk botole. Mbahe ora penyakiten."

Hiks. Bukan begitu maksud saya, nek. Saya hanya tak ingin mengurangi porsi air minum nenek yang bekerja berat seharian. Tapi saya haru mendengar nenek berkata demikian.

Akhirnya, saya teguk air di botol itu. Kira-kira 3 tegukan. Lalu saya ucapkan terimakasih sangat.

"Nah, ngono kan ayem. Ben ora pucet."
"Nggih mbah, maturnuwun sanget nggih. Kula mantuk riyin."
"Yo nduk, ngati-ati ya. Ampun mepet-mepet rel, bahaya. Akeh sing kecelakan teng mriki."
"Nggih mbah."

Haru saya, rindu nenek saya..
Sambil menepuk bahu saya, lalu bersalaman, saya pamit.

Lalu saya segera menuju ke rumah teman saya. Nita membawa Enthung.

Sejak saat itu, hidung enthung tergores luka karena aspal Slamet Riyadi, mengukir kenangan yang tak terkira. Tangan saya pun masih membekas, luka bekas jatuh dan pertemuan dengan nenek itu.

Seperti itulah Solo, dengan segala penghuninya.
Saya rindu Solo, dengan segala keramahtamahannya.
Saya rindu Solo, dengan ketenangan yang tak tergantikan.
Saya rindu Solo, dengan apapun yang tersemat sebagai kenangan.

Saya rindu Solo, kota saya..

3 komentar:

Nafsa Muthmainna mengatakan...

kamu rindu aku tak ai? :D

nita prasasti mengatakan...

hahahahahahahaha...janh tnanh...hadeeeeeeeeeh...aku wedi pas iku...hhe...lha medeni tnan og...aku wes tau tibo nang rel ping 2 je...dadi yo nyat kudu ngati ati...hhe, Banyak kenangan og ya...Solo, the spirit of sweetest memories

Nurmita mengatakan...

@Acha: tak perlu kujawab, km pasti tau jawabannya. cinta dan rindu itu, tak boleh selesai ai.. :)

@Nita: tapi lucunya, momen2 menegangkan seperti itu, selalu bersamamu nduk..

banyak kenangan, tentangku, tentangmu, tentang kita. yang akan membekas di sini. membentuk jalinan neuron yang menjadi memori jangka panjang. :)

Posting Komentar