Sabtu, 06 Agustus 2011

tentangmu

Ini juga tentangmu.
Sosok yang sangat ingin kedua mataku ini terjaga dengan apik.

Masih ingat aku pak. Belasan tahun lalu, bapak selalu bilang padaku. Saat tubuh mungilku duduk di depan TV. Tak berjarak dan terlalu dekat, katamu.

“Kalau nonton TV itu dek, jaraknya harus 3 meter. Jangan dekat-dekat, nanti matanya rusak.”

“Tapi pak, 3 meter kan jauh,” sambil bermuka masam, merengek khas anak kecil.

“Ndak jauh. Liat ke atas, tiap satu atap di langit-langit itu satu meter, jadi kl mb dia mau nonton TV, jaraknya harus tiga kotak ya.”

“Ya pak.”

Sejak saat itu, aku patuh. Tiga kotak. Bisa dibayangkan? Tiap hari aku harus menghitung mundur jarakku dengan TV, kalau-kalau kurang dari 3 meter.

Dengan badanku yang kecil, rasanya tidak nyaman duduk jauh dari TV. Sesekali aku ngeyel, diam-diam maju ke depan tanpa sepengetahuan bapak. Hihi. Nakal.

Atau tiap kali aku menonton sambil tiduran.

“Mb dia, nontonnya duduk ya.”

“Ya pak.”

Tapi sejatinya, aku tau apa resikonya. Jadi aku tetap saja patuh dengan kata-kata bapak.

Dari kecil, aku suka membaca. Membaca apa saja. Tapi memang paling suka buku cerita, anti komik. Kenapa tidak suka komik? Karena komik cepat habis.

Dan selalu saja, aku yang nakal ini sangat nakal. Membaca sambil tiduran.

Kebiasaan itu terjadi saat apapun, belajar sambil tiduran, baca sambil tiduran. Males-malesan di atas kasur. Apa yang terjadi kalau kepergok bapak? Ya, tentu saja.

“Mb, belajarnya duduk. Nanti matanya rusak. Sini bapak temenin di meja depan.”

Seperti katanya, bapak menemaniku belajar. Bahkan dari dulu, selalu mengkondisikan tempat belajar yang nyaman untukku.

Meja belajar. Awalnya aku suka, tapi lama-lama kembali ke atas kasur juga.

Meja kecil lesehan. Awalnya juga suka, tapi lama-lama pegel. Akhirnya ke atas kasur juga.

Maaf ya bapak, nampaknya anakmu ini memang tidak hobi belajar atau membaca sambil duduk. Kalau pun bertahan, mungkin hanya beberapa jam saja. Hehe.

Lain lagi, itu tentang posisi. Belum tentang lingkungan.

“Mb dia, bacanya di tempat terang, jangan di tempat gelap.”

Padahal aku membaca di bawah lampu juga. Hanya mungkin, sudah berkurang tingkat cahayanya.

“Lho, ini lampu kamarnya udah g terang lagi.”

“Tapi masih terang kok pak. Nih, aku masih bisa baca dengan jelas.”

“Iya, tapi g terang dek. Kalau mau baca, di kamar bapak dulu atau di ruang tamu aja ya, yang lampunya terang.”

“Ya Pak.”

Beberapa hari kemudian.

“Mbak, lampunya udah bapak ganti. Sana belajar di kamar lagi.”

“Wow pak, ini teraaaaaang banget.”

Bahkan bapak tidak segan-segan, membeli lampu yang watt nya paling besar untuk kepentingan ‘membaca’.

Sekali lagi, bukan hanya itu saja. Satu lagi, kebiasaan bapak.

“Bu, beli wortel ya nanti. Yang bagus-bagus.”

“Buat apa pak?”

“Buat jus, biar diminum mbak dia sama adit.”

Aku protes.

“Ga mau bapak, ga enak. Rasanya aneh, baunya aneh.”

“Udah gpp, nanti dikasih gula biar manis.”

“Bapaaaak.”

Malam hari, ibu membuatkan jus wortel. Dengan campuran gula, bagaimana caranya agar aku doyan. Tapi tetap saja, tidak suka wortel.

“Mb, diminum jusnya.”

“Ndak mau pak.”

“Pelan-pelan aja, dikit-dikit.”

“Ndak suka bapak.”

“Kalau g suka baunya, sambil tutup hidung aja.”

“G bisa napas pak.”

“Ya udah, telennya cepet-cepet.”

“Bapaak, g mau minuuuum.”

Bapak selalu rajin, mencontohkan untuk minum jus wortel. Sayangnya, aku sudah bilang aku tidak suka. Jadi tak bisa dipaksa.

Semua itu, terus berjalan hingga menjelang kuliah. Saat kuliah, jarang sekali ada yang mengingatkanku begitu. Inilah satu dari sekian hal, yang membuatku rindu padamu jua, pak.

Betapa bapak meyakinkan padaku, akan pentingnya menjaga dan merawat mata kita. Dua bola mata, yang terpasang sejak dalam kandungan. Yang membuat kita lahir, menatap dunia, penuh warna.

Kan kujaga mata ini. Agar ku tetap bisa, menatap wajahmu, menghapus gurat lelah, dalam setiap waktu yang ada.

Bapak, mbak dia sayang bapak karena Allah. J

0 komentar:

Posting Komentar