Senin, 11 Maret 2013

Stase di Persahabatan


Selama di stase pulmonologi RSUP Persahabatan, ada banyak sekali pelajaran yang bisa saya ambil. Pasien-pasien di sana nampak berbeda dengan pasien-pasien yang biasa saya temui di RS lainnya. Mayoritas pasien yang saya temui di bangsal adalah pasien dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, mungkin karena pasien yang saya temui adalah pasien-pasien kelas 3. Akan tetapi, ada juga pasien-pasien dari kalangan atas yang terlihat berbeda sikapnya ketika saya menyambutnya.
Terlihat sekali, bagaimana mereka memposisikan saya sebagai seorang dokter yang benar-benar dokter, mempercayakan dirinya untuk saya periksa, baik di IGD, di bangsal, maupun di Poli. Bukan lagi dianggap sebagai seorang koas yang sedang belajar. Hanya sesekali saya menjumpai pasien-pasien yang terlihat masam saat saya anamnesis di IGD, ya karena pasien kelas satu atau kelas dua.
Pengalaman berkomunikasi dengan pasien juga beragam. Pertama, mengenai pasien follow up saya, ada dua orang. Pasien pertama adalah seorang kakek yang didiagnosis dengan bullae terinfeksi dan bekas TB. Awalnya, saya hanya ditugasi oleh residen yang memegang pasien tersebut untuk menganamnesis dan memeriksa ulang. Ternyata dokter tersebut merasa kesulitan untuk menggali informasi dari pasien dan keluarganya karena kurang terbuka dan kurang informatif. Setelah saya mencoba membangun rapport dengan pasien dan keluarga, saya mampu mendapatkan informasi yang lebih banyak, serta mencari tahu bagaimana tipe pertanyaan yang pasien lebih leluasa untuk menjawab. Kakek ini biasa tinggal seorang diri karena anak dan cucunya tinggal di rumah sendiri. Beliau biasa mengerjakan urusan rumah tangga sendiri, mulai dari memasak, menyuci, mengepel, dan lain-lain. Di usia 76 tahun, pasien masih kuat melakukannya. Dulu beliau adalah buruh bangunan, saat ini tubuhnya terlihat kecil dan kurus. Semenjak sakit, aktivitas pasien terhambat. Akan tetapi hal itu tidak membuatnya terlihat sedih atau berputus asa, beliau nampak seperti seorang kakek yang tegar, yang selalu ingin terlihat baik-baik saja di depan semua orang. Pun di depan saya. Saya senang ketika mengetahui beliau akan pulang, tetapi juga khawatir, siapa yang akan mengurusnya di rumah. Dengan yakin beliau menjawab, beliau bisa melalui hari-harinya sendiri, sesekali anak dan cucunya datang menjenguk. Semoga beliau selalu dilimpahkan kesehatan dan keberkahan. Amin.
Pasien follow up kedua saya adalah pasien adenokarsinoma paru. Beliau dirawat untuk persiapan kemo yang kesebelas kalinya, nampak bersahaja dengan senyumnya. Awalnya saya memperkenalkan diri dan meminta izin untuk bertanya-tanya. Beliau mengiyakan dan menjawab setiap pertanyaan saya dengan lengkap. Sesekali kami bercanda untuk mengakrabkan diri. Beliau menceritakan kisah hidupnya, di mana dulu sangat hobi merokok. Lalu setelah sakit, pasien baru menyadari bahwa selama ini uang yang digunakan untuk membeli rokok sia-sia, justru meninggalkan penyakit ganas di dalam tubuhnya. Karena sudah kemo sepuluh kali, pasien terlihat tenang dengan persiapannya menjelang kemo. Selama 4 hari saya mengunjunginya untuk follow up, beliau selalu menyambut saya ramah. Beliau juga tak segan menceritakan keluhannya setiap hari, bagaimana tidurnya, bagaimana makannya, dan apakah keluhan yang kemarin masih dirasakan. Saya mencoba menggali informasi lebih jauh tentang kondisi keluarganya, hingga anak dan cucunya. Pasien merasa bersyukur dengan apa yang telah Allah berikan padanya, termasuk istri yang sampai saat ini masih setia menemaninya berobat.
Pasien-pasien yang saya temui di IGD cukup bervariasi. Sempat beberapa kali, saya bertemu dengan pasien kelas dua atau kelas satu, mereka nampak tidak terlalu senang dengan keberadaan saya. Setiap saya tanya, jawabannya sedikit ketus dan terlihat high-educated. Terkadang merasa tidak dihargai, tapi saya selalu mencoba berpikir positif, mungkin pasiennya sedang sesak, misalnya. Meskipun perlakuannya ke saya dan teman-teman sedikit berbeda, tapi biar bagaimanapun mereka tetap pasien-pasien yang harus diperlakukan sama. Mereka semua berhak mendapatkan pelayanan paripurna. Pada akhirnya, mereka luluh juga dengan ketulusan saya dan teman-teman yang memang ingin membantu kesulitan dan mengatasi keluhan mereka. Senang rasanya, kepuasan tersendiri ketika mampu melayani dengan baik.
Sejauh ini, saya menyadari, bahwa ada banyak pelajaran tentang kehidupan yang saya dapat di sini. Bukan hanya tentang aplikasi dan korelasi teori dengan kasus yang saya coba pahami, tetapi juga bagaimana mampu menjalin ikatan erat antara dokter-pasien. Tentang saling membutuhkan, saling percaya. Tentunya pasien-pasien berharap, mereka berada di tangan orang-orang yang tepat, yakni dokter yang dipercaya. Saya pun demikian, berharap dapat memahami pasien seutuhnya, membacanya sebagai textbook yang langka, dengan integrasi akal, hati, dan berbagai ketrampilan yang saya miliki. Bagi saya, tempat di mana saya bisa belajar banyak hal yang tidak saya temui di tempat lain adalah, Rumah Sakit. 


Ditulis untuk memenuhi tugas Prof. Menaldi Rasmin, 
Tentang bagaimana pengalaman berkomunikasi dengan pasien di stase Pulmonologi


0 komentar:

Posting Komentar