Selama di stase pulmonologi RSUP
Persahabatan, ada banyak sekali pelajaran yang bisa saya ambil. Pasien-pasien
di sana nampak berbeda dengan pasien-pasien yang biasa saya temui di RS lainnya.
Mayoritas pasien yang saya temui di bangsal adalah pasien dari kalangan ekonomi
menengah ke bawah, mungkin karena pasien yang saya temui adalah pasien-pasien
kelas 3. Akan tetapi, ada juga pasien-pasien dari kalangan atas yang terlihat
berbeda sikapnya ketika saya menyambutnya.
Terlihat sekali, bagaimana mereka
memposisikan saya sebagai seorang dokter yang benar-benar dokter, mempercayakan
dirinya untuk saya periksa, baik di IGD, di bangsal, maupun di Poli. Bukan lagi
dianggap sebagai seorang koas yang sedang belajar. Hanya sesekali saya
menjumpai pasien-pasien yang terlihat masam saat saya anamnesis di IGD, ya
karena pasien kelas satu atau kelas dua.
Pengalaman berkomunikasi dengan pasien juga
beragam. Pertama, mengenai pasien follow up saya, ada dua orang. Pasien pertama
adalah seorang kakek yang didiagnosis dengan bullae terinfeksi dan bekas TB.
Awalnya, saya hanya ditugasi oleh residen yang memegang pasien tersebut untuk
menganamnesis dan memeriksa ulang. Ternyata dokter tersebut merasa kesulitan
untuk menggali informasi dari pasien dan keluarganya karena kurang terbuka dan
kurang informatif. Setelah saya mencoba membangun rapport dengan pasien dan keluarga, saya mampu mendapatkan
informasi yang lebih banyak, serta mencari tahu bagaimana tipe pertanyaan yang
pasien lebih leluasa untuk menjawab. Kakek ini biasa tinggal seorang diri
karena anak dan cucunya tinggal di rumah sendiri. Beliau biasa mengerjakan
urusan rumah tangga sendiri, mulai dari memasak, menyuci, mengepel, dan
lain-lain. Di usia 76 tahun, pasien masih kuat melakukannya. Dulu beliau adalah
buruh bangunan, saat ini tubuhnya terlihat kecil dan kurus. Semenjak sakit,
aktivitas pasien terhambat. Akan tetapi hal itu tidak membuatnya terlihat sedih
atau berputus asa, beliau nampak seperti seorang kakek yang tegar, yang selalu
ingin terlihat baik-baik saja di depan semua orang. Pun di depan saya. Saya
senang ketika mengetahui beliau akan pulang, tetapi juga khawatir, siapa yang
akan mengurusnya di rumah. Dengan yakin beliau menjawab, beliau bisa melalui
hari-harinya sendiri, sesekali anak dan cucunya datang menjenguk. Semoga beliau
selalu dilimpahkan kesehatan dan keberkahan. Amin.
Pasien follow up kedua saya adalah pasien
adenokarsinoma paru. Beliau dirawat untuk persiapan kemo yang kesebelas
kalinya, nampak bersahaja dengan senyumnya. Awalnya saya memperkenalkan diri
dan meminta izin untuk bertanya-tanya. Beliau mengiyakan dan menjawab setiap
pertanyaan saya dengan lengkap. Sesekali kami bercanda untuk mengakrabkan diri.
Beliau menceritakan kisah hidupnya, di mana dulu sangat hobi merokok. Lalu
setelah sakit, pasien baru menyadari bahwa selama ini uang yang digunakan untuk
membeli rokok sia-sia, justru meninggalkan penyakit ganas di dalam tubuhnya.
Karena sudah kemo sepuluh kali, pasien terlihat tenang dengan persiapannya
menjelang kemo. Selama 4 hari saya mengunjunginya untuk follow up, beliau
selalu menyambut saya ramah. Beliau juga tak segan menceritakan keluhannya
setiap hari, bagaimana tidurnya, bagaimana makannya, dan apakah keluhan yang
kemarin masih dirasakan. Saya mencoba menggali informasi lebih jauh tentang
kondisi keluarganya, hingga anak dan cucunya. Pasien merasa bersyukur dengan
apa yang telah Allah berikan padanya, termasuk istri yang sampai saat ini masih
setia menemaninya berobat.
Pasien-pasien yang saya temui di IGD cukup
bervariasi. Sempat beberapa kali, saya bertemu dengan pasien kelas dua atau
kelas satu, mereka nampak tidak terlalu senang dengan keberadaan saya. Setiap
saya tanya, jawabannya sedikit ketus dan terlihat high-educated. Terkadang merasa tidak dihargai, tapi saya selalu
mencoba berpikir positif, mungkin pasiennya sedang sesak, misalnya. Meskipun
perlakuannya ke saya dan teman-teman sedikit berbeda, tapi biar bagaimanapun
mereka tetap pasien-pasien yang harus diperlakukan sama. Mereka semua berhak
mendapatkan pelayanan paripurna. Pada akhirnya, mereka luluh juga dengan
ketulusan saya dan teman-teman yang memang ingin membantu kesulitan dan
mengatasi keluhan mereka. Senang rasanya, kepuasan tersendiri ketika mampu melayani
dengan baik.
Sejauh ini, saya menyadari, bahwa ada banyak
pelajaran tentang kehidupan yang saya dapat di sini. Bukan hanya tentang
aplikasi dan korelasi teori dengan kasus yang saya coba pahami, tetapi juga
bagaimana mampu menjalin ikatan erat antara dokter-pasien. Tentang saling
membutuhkan, saling percaya. Tentunya pasien-pasien berharap, mereka berada di
tangan orang-orang yang tepat, yakni dokter yang dipercaya. Saya pun demikian,
berharap dapat memahami pasien seutuhnya, membacanya sebagai textbook yang langka, dengan integrasi
akal, hati, dan berbagai ketrampilan yang saya miliki. Bagi saya, tempat di
mana saya bisa belajar banyak hal yang tidak saya temui di tempat lain adalah,
Rumah Sakit.
Ditulis untuk memenuhi tugas Prof. Menaldi Rasmin,
Tentang bagaimana pengalaman berkomunikasi dengan pasien di stase Pulmonologi
0 komentar:
Posting Komentar