Namanya Ibu Sarip. Penjual nasi uduk di dekat kosan. Kira-kira usianya kini lebih dari 70 tahun.
Aku mulai mengenal beliau sejak awal tinggal di kosan Sayuti, tempat tinggal sejak semester 4 hingga saat ini.
Rumahnya
tak jauh dari kosan, hanya beda gang. Biasanya berjualan di pinggir
jalan Sayuti, tepat setelah belokan jalan menuju gang Sayuti 2, tempatku
tinggal.
Sebenarnya jarang-jarang beli nasi uduk si Ibu, hanya
jika ingin saja. Tapi menurutku, nasi uduk buatan Ibu Sarip ini paling
enak dari semua nasi uduk yang pernah aku beli di Jakarta. Kue-kuenya
juga menarik.
Si Ibu biasanya berjualan mulai
pukul 06.15 sampai jam 10.00. Ditemani oleh suaminya yang usianya tak
jauh berbeda. Alhamdulillah keduanya masih diberi nikmat sehat. Haru dan
ikut bahagia, mendengar cerita Ibu tentang masa mudanya. Tentang si
Bapak yang lebih jago memasak, tentang Ibu dan Bapak yang sering gantian
belanja ke pasar.
Tak lupa menyapa setiap pagi, ketika akan berangkat ke kampus.
"Pagi ibu.."
"Oh iya sayang. Ati-ati ya.."
Seringkali
aku terpikir untuk membeli karena ingin bertanya kabar dan bertukar
cerita saja. Si Ibu tak pernah lupa menyediakan sendok plastik untuk
jaga-jaga kalau aku datang membeli. Singkat cerita, dulu aku lah pembeli
pertama yang minta dibawakan sendok plastik. Rata-rata pembeli kan
warga sekitar, yang makannya dibawa pulang.
"Maaf ya sayang, sendok plastiknya habis. Kemaren Bapak yang ke pasar, lupa beli.."
"Oh iya, ga apa-apa bu, nanti cari di kampus aja."
"Sukses kuliahnya sayang.."
"Iya, makasi Ibu."
Ibu
Sarip berjualan setiap hari kecuali hari Senin. Hari Senin adalah
jadwal beliau kontrol ke Puskesmas, bersama suaminya. Kadang
menceritakan hasil kontrolnya padaku, tentang kondisinya, atau suaminya.
Aku hanya menyarankan agar kontrol teratur.
Sampai
suatu ketika, kami bertemu di acara Pengobatan Massal di dekat kosan.
Sekitar bulan Juni lalu. Sebenarnya lokasinya agak jauh, tapi aku heran
karena dari semua pasien, ternyata ada tetangga-tetangga dekat rumah
juga. Malu rasanya. Begitu juga Ibu Sarip.
"Eh ada dokter. Ibu mau sama dokter aja deh.."
"Oh iya boleh, sini Bu.."
Dengan
panjang lebar Ibu cerita. Sampai-sampai perlu waktu yang lebih lama
dari pasien lainnya. Mau tak mau, aku yang memotong pembicaraan ketika
mulai ke mana-mana.
"Makasi ya Dok. Nanti suami saya ke Dokter juga yaa."
"Iya boleh bu. Semoga sehat terus ya bu. Jangan lupa minum obat dan kontrol teratur.."
Semenjak saat itu, si Ibu memanggilku dengan sebutan yang berbeda, 'Dokter'.
Setiap
kali kusapa, bukan sapaan sayang lagi yang aku dapat. Pernah suatu
hari, aku sedang berjalan menuju kampus. Tanpa kusadari, Ibu yang sedang
jalan, melihatku dari belakang. Tiba-tiba aku mendengar ada yang
berteriak.
"Dok, berangkat ya? Hati hati dok.."
Menoleh ke belakang, "Iya bu, saya berangkat ya. Assalamu'alaikum"
Malu-malu karena didengar tetangga yang lain juga. Hehe.
Dan sejak saat itu juga, si Ibu selalu memberiku bonus ketika aku membeli makanannya.
"Ini buat Bu dokter yaa, Ibu tambahin.."
"Ga usah bu, udah cukup ini.."
"Gapapa, buat bekal."
"Wah Ibu, makasi banyak yaa.."
Sampai-sampai
kalau ada teman kosan yang tau aku beli nasi atau kue-kue, ditanya
'dapet bonus lagi en?'. Begitulah. Padahal niatnya, ingin tanya kabar.
Sering diajak main ke rumahnya, tapi belum kupenuhi sampai sekarang.
Seminggu
yang lalu, aku mendapati Ibu tidak jualan satu hari. Digantikan oleh
tetangganya. Setelah kutanyakan, ternyata Bapak lagi sakit jadi harus
mengantar ke klinik 24 jam.
Keesokan harinya, ketemu si Bapak di jalan.
"Bapak, katanya kemarin sakit. Gimana sekarang, Pak?"
"Alhamdulillah udah baikan."
"Alhamdulillah.."
Karena
lama tak bercakap-cakap dengan Ibu, kemarin Allah pertemukan kami. Ibu
sedang berjalan menuju pasar, aku sedang berjalan menuju kampus. Tujuan
kita berlawanan. Karena tak tega membiarkan Ibu menyeberang sendirian,
dalam kondisi jalan yang cukup rame, akhirnya kuseberangkan sampai
datang angkot. Di saat itulah aku sempat menanyakan lebih jauh tentang
kondisi suaminya. Alhamdulillah nampak sudah lebih baik.
Hingga
hari ini, saat tadi pagi aku akan mengantarkan seorang teman menuju IGD
RS (ecausa dispepsia dan diare akut dengan dehidrasi sedang) naik
bajaj. Aku sempat meminta pak supir menunggu sejenak di pinggir gang,
sementara aku berjalan memanggil teman yang tak kuat berjalan.
Kusempatkan menyapa si Ibu.
"Ibu.."
"Iya, mau ke mana Dok?"
"Mau nganterin temen Bu, lagi sakit."
Setelah aku dan temanku naik bajaj, si ibu memanggil lagi. Lalu berjalan ke arahku sambil membawa plastik berisi sesuatu.
"Dok, ini Ibu bawain, buat sarapan. Hati-hati ya.."
Masyaa Allaah..
Tiba-tiba teringat hadist Arba'in 15.
"Dari Abu
Hurairah radhiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam bersabda: Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir
hendaklah dia berkata baik atau diam, siapa yang beriman kepada Allah
dan hari akhir hendaklah dia menghormati tetangganya dan barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan
tamunya." (Riwayat Bukhori dan Muslim)
Kukatakan pada diriku. Bahwa sebelum aku meninggalkan kosan dan semua
kenangan di gang Sayuti, aku harus berfoto dulu dengan Ibu.
Ceritaku
tentang Ibu Sarip, adalah sepenggal cerita tentang kehidupanku di
kosan. Alhamdulillah, bahagia rasanya memiliki tetangga kanan kiri yang
luar biasa baiknya. Begitu banyak pelajaran berharga yang tak terlupakan. Tak salah kalau aku menyebutnya Kosan Sayuti, Baiti Jannati.
Thank you, Allah.