Jumat, 27 Agustus 2010

Wajah Indonesia


Waktu itu, saya berkunjung ke Taman Mini Indonesia Indah, tepat di Hari Anak Nasional. Bersama teman-teman dari UI, universitasku tercinta. Transport utama kami, mungkin memang naik angkot. Sekali naik dari jalan besar Margonda, angkot 19. Dan sampailah kami di sana. Ternyata tak ada tiket gratis. Kami berjalan dari pintu gerbang menuju anjungan Maluku. Subhanallah, cukup panjang dan berliku. Ternyata keadaan di luar TMII tak serupa dengan dalamnya. Ramai sekali.

Ribuan anak berjajar di sepanjang jalan. Ada yang memakai seragam TK, ada yang SD, ada yang SMP. Tapi sayang, tak ada anak SMA maupun mahasiswa di sana. Mungkin karena sudah besar, jadi malu kalau ikut-ikutan. Mereka berjajar rapi. Sambil membawa bendera merah putih dengan ukuran bendera tujuh belasan, mereka bersorak senang. Oh, pantesan. Ternyata mereka menunggu Pak Presiden Republik Indonesia datang dan berharap bisa melambaikan tangan. Mobil-mobil dengan plat nomor berawalan RI, menjadi ciri khas bahwa mobil tersebut milik pejabat negara. Setiap ada mobil lewat, anak-anak pun berteriak, melambai-lambaikan tangan. RI 5, RI 2, RI3, dsb, entah punya siapa. Sedari tadi, posisi saya memang agak ke tengah jalan. Klakson mobil-mobil penting itu terdengar sebentar-sebentar. Hingga di saat mobil RI 1 lewat, saya pun terkesima. Wow, mana Pak SBY ya??

Eh, ternyata di dalam cuma ada supir. Entahlah, apa artinya Pak Presiden sudah lewat, atau mungkin itu baru gladi resik mobilnya. Tapi saya tidak berniat menceritakan perjalanan panjang nan amat berkesan waktu itu. Satu hal yang jadi catatan penting, bahwa menjadi minoritas memberi kebanggaan tersendiri. ^^

Saya sungguh kagum dengan wajah anak-anak tersebut, yang dengan setia menunggu dan berdiri sejak pagi. Dalam hati saya, “Inilah wajah Indonesia, dari sinilah masa depan itu ada.”

Iya, memang benar. Kalau waktu itu, mereka berjajar demi melambaikan tangan pada para pejabat negara. Entah sepuluh tahun, dua puluh, dan dalam hitungan yang tak terhingga, mereka lah yang akan menggantikan posisi penting itu.

Ada yang mengatakan, “Kalau kita ingin melihat orang, masa depannya akan seperti apa, lihatlah dia sekarang. Karena kita hari ini adalah cerminan kita ke depan.”

Benar juga. Saat itu saya tatap wajah anak-anak Indonesia. Mereka masih begitu polosnya, masih lugu dengan segala tingkahnya. Termasuk beruntung, karena mereka yang ada di sana masih dapat menimba ilmu di sekolah, masih berpendidikan. Hanya perlu polesan yang baik dari kedua orangtua serta saudara di rumah, insyaAllah mereka akan terarah dengan semestinya. Rumah memang madrasah terbaik.

Tapi mereka, yang ada di luar sana. Dari berbagai pelosok negeri. Tidak semuanya mendapat kesempatan untuk bersekolah, mengenyam pendidikan. Mereka mungkin bercita-cita, tetapi tidak tahu bagaimana cara untuk mencapainya. Sungguh, kasihan.

Sekarang, masuk ke topik permasalahan. Hehe. Prolognya terlalu panjang..

Lihatlah diri kita. Kita bersekolah, berpendidikan. Pernahkah kita merenungi dan berpikir bahwa betapa beruntungnya kita. Bahwa betapa bahagianya kita. Mendapat ilmu, yang nantinya akan berguna bagi bangsa.

Mahasiswa Indonesia. Kalian lah tonggak kejayaan bangsa.

Kalau sedari tadi saya membahas anak-anak, memang merekalah generasi mendatang, generasi pembaharu yang akan menciptakan kesejahteraan merata di Indonesia, kelak.

Tapi tahukah kalian? Bahwa mereka masih jauh berada di bawah kalian. Dan kitalah yang akan menjadi contoh bagi mereka. Karena kita adalah GENERASI SEKARANG.

Sudahkah kita bersiap untuk kewajiban-kewajiban besar yang menggantung di pundak kita?

Masihkah kita bermalas-malasan?

Sungguh, saya sendiri kecewa ketika melihat diri saya bermalas-malasan. Saya juga kecewa ketika belajar dengan rasa terpaksa. Saya kecewa melihat langkah saya menuju kampus yang seolah tak bertujuan. Saya kecewa dengan niat bolos kuliah yang tak beralasan. Saya kecewa dengan ungkapan sok sibuk yang terkadang membuat diri ini merasa tak punya waktu untuk belajar, membagi waktu dengan baik. Saya kecewa ketika kewajiban untuk beribadah, kewajiban untuk berbakti kepada orang tua, dan semuanya terlalaikan oleh ini dan itu. Semuanya harus terpenuhi, harus seimbang.

Hati saya tergerak dengan sebuah percakapan singkat seorang teman:

“Hari gini bolos, Indonesia sudah maju bung.”

“Indonesia maju, tapi rakyatnya masih tertindas.”

“Kalau rakyat tertindas, itu karena kita menindas diri kita sendiri. Ayo tunjukan dengan menjadi mahasiswa yang baik.”

Gimana ada sejarahnya, ingin maju tapi tak ada usaha untuk berbenah. Lihatlah ke dalam diri kita, tak perlu lihat yang terlalu luas. Kalau kita saja masih seperti ini, bagaimana dengan rakyat Indonesia yang lainnya?

Skema pembagian era yang dibuat oleh Daniel. H. Pink dalam bukunya “A Whole New Mind”, terbagi menjadi:











Indonesia masih terbatas pada dua era terbawah, yakni agrikultur dan industri. Sedangkan di negara-negara barat, negara-negara maju telah meninggalkan era agrikultur dan industri menuju era penuh informasi dan pengetahuan, serta konseptual yang merumuskan berbagai ide jenius. Tanggung jawab kita adalah belajar sungguh-sungguh agar ilmu kita dapat bermanfaat untuk mengangkat derajat Indonesia di mata dunia. Hingga kita tak perlu lagi impor barang atau teknologi dari luar, karena di negara kita pun semuanya tersedia dan tercukupi.

Mahasiswa Indonesia, masa depan di tangan kita. Akan jadi apa Indonesia, itulah yang harus kita pikirkan. Tak harus jadi pejabat, tapi semua elemen penting di negeri ini kelak akan menjadi ladang-ladang kita. Ladang untuk belajar, beramal, dan beribadah.

Oleh karena itu, marilah kita mulai dari hal kecil yang ada di depan mata kita. Tak peduli mahasiswa dari fakultas atau jurusan apa, karena kita satu. Galilah ilmu sebanyak-banyaknya di bidang masing-masing. Carilah pengalaman sebanyak-banyaknya dalam berbagai aspek, baik aspek sosial dan kemasyarakatan, kesehatan, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, semuanya.

Kontribusi kecil yang kita berikan akan membawa dampak besar bagi rakyat Indonesia.

Kita lah intelek muda, cendekiawan yang dinanti oleh para pendahulu kita. Sungguh, bukan karena kita pandai atau hebat, tapi semata-mata karena kita lah yang terpilih untuk memimpin bangsa ini!



Sedikit mengenang saat saya bersama seluruh mahasiswa UI angkatan 2009, menyanyikannya bersama di balairung. Menggelegar, semoga dapat terwujud, suatu saat nanti..


Kepada para mahasiswa, yang merindukan kejayaan

Kepada rakyat yang kebingungan, di persimpangan jalan

Kepada pewaris peradaban, yang telah menggoreskan

Sebuah catatan kebanggaan di lembar sejarah manusia


Wahai kalian yang rindu kemenangan

Wahai kalian yang turun ke jalan

Demi mempersembahkan jiwa dan raga

Untuk negeri tercinta


Dengan tangan mengepal, inilah janji. Bahwa kita harus terus berusaha, memberikan kontribusi, mempersembahkan yang terbaik bagi Indonesia.

Ada beragam jalan, semuanya luar biasa.

Lakukanlah dengan caramu sendiri

Bagaimanapun kita tetap Anak Indonesia, yang bebas berkreasi dan berkarya asal masih dalam batas yang sewajarnya

Demi mimpi yang sama, Indonesia Tersenyum. :)

0 komentar:

Posting Komentar