Senin, 17 Januari 2011

Senja hari ini

Petang ini. Begitu sayu, bagi gadis itu.

Ujian blok menjelang disertai kegundahan hati yang menjelma bagai awan kelabu yang diam-diam menyurutkan semangatnya. Hanya masalah sepele, kenapa jadi begitu rumit.


Atas sebuah kebijakan baru: Penutupan wastafel.


Dia ingat sekali.


Anak-anak kos itu memang kerap membuat kesal. Menumpuk cucian piring di wastafel, meninggalkan sisa makanan berupa tulang, sayur, nasi, dan beraneka lauk sehat yang mungkin mereka santap. Hingga menyumbat lubang kecil yang mengalirkan ke tempat pembuangan. Meluap lah air di cekungannya, tak jarang membuat jenuh si mbak yang bersih-bersih.


Kesal. Dia keluhkan harus mencuci piring-piring anak kos itu karena tak tahan melihat gunungan yang semakin tinggi, mengganggu pandangan mata. Tak tahan jua melihat sisa sisa yang hampir menjamur, menjijikkan. Jengkel membersihkan air yang membanjiri lantai di babwah wastafel.


Hingga akhirnya, mbak bersih-bersih itu mengadukan pada sang majikan, si empunya kos-kosan. Tentunya tidak secara langsung karena beliau tidak tinggal di sana. Mbak itu, hanya bercerita empat mata, mungkin enam mata dengan gadis itu dan kakaknya, anak sang pemilik kos-kosan.

Kamis, 13 Januari 2011

HAM dan Bioetik

Saya tak ahli di bidang ini, meraba-raba tak mengerti. Mencoba sejenak, menjadi seorang mahasiswa hukum, sosial, dan politik (beratnya). Atas tuntutan tugas dari seorang dosen untuk kami semua, Prof. Agus Purwadianto, seorang guru besar forensik.

"Spesialis forensik itu ahli surga. Hak asasi manusia dan sebagainya merupakan hak tertinggi dan berada di kaki surga," hehe.
Maafkan saya Prof, nakal mengutip kata2nya.

--ooo--

Hak Asasi Manusia, yang lebih dikenal dengan istilah HAM merupakan hak dasar yang utama sebagai seorang manusia. Sebagai warga negara, manusia memiliki jaminan HAM yang wajib dijunjung tinggi oleh negara dan pemerintah yang berkuasa di dalamnya. Aspek HAM ini mencakup aspek sipil, politik, ekonomi, sosial, serta moral.

Pemerintah menjalankan tugasnya yang tercakup dalam negara yang diaturnya. Di sini, pemerintah memiliki dua fungsi, sebagai aperture dan profesi. Fungsi aperture terwujud dalam upaya perlindungan terhadap hak sipil serta hak politik warga negara. Hak tersebut merupakan hak yang berada di generasi pertama. Fungsi yang satunya lagi, yakni profesi mengatasnamakan pemerintah dalam menyusuri tugas-tugasnya. Dengan izin dan peraturan yang dibuat sendiri oleh pemerintah, mereka memenuhi kebutuhan dan kedaulatan negara yang diembannya. Profesi sebagai pemerintah menuntut untuk terjaminnya hak asasi manusia. Sesuai dengan asa subsidiaritas yang berarti pemerintah menitipkan kewajibannya dalam melindungi hak warganya kepada profesi. Hak yang dilindungi profesi adalah hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak tersebut terdaftar dalam deretan hak generasi kedua.

Rabu, 12 Januari 2011

Satu jiwa di jasad berbeda

Cerita yang membuat saya terharu membacanya. Subhanallah.

Andai semua hakim, seadil Umar..
Si terdakwa, sejujur sang pemuda..
Keluarga korban, sepemaaf dua pemuda..
Dan ada muslim, seberbagi Salman, maka madani adalah niscaya..
Nyatanya, kisah madani seperti ini benar-benar2 ada, percaya..

Umar bin khattab sedang duduk di bawah sebatang pohon kurma. Surbannya di lepas, menampakkan kepala yang rambutnya mulai teripis di beberapa bagian. Di atas kerikil ia duduk, dengan cemeti imaratnya tergeletak di samping tumpuan lengan.

Di hadapannya para pemuka shahabat bertukar pikiran dan membahas berbagai persoalan. Ada anak muda yang tampak menonjol di situ. Abdullah ibn Abbas. Berulang kali Umar memintanya berbicara. Jika perbedaan wujud, Umar hampir selalu bersetuju dengan Ibnu Abbas. Ada juga Salman Al-Farisi yang tekum menyimak. Ada juga Abu Dzar Al-Ghifari yang sesekali bicara berapi-api. Pembicaraan mereka segera terjeda.

Arti sebuah cermin

Cermin itu kaca..
Cermin itu bayangan..
Cermin itu kita..
Cermin itu tanpa dusta..


Mungkin seperti itulah, sederetan dan serentetan arti sebuah cermin bagi kita. Bervariasi, beraneka rupa, tergantung dari sudut mana kita menilainya.

Cermin yang saya maksud di sini, bukanlah cermin yang seperti saya gambarkan di atas.
Lalu apa?

Segalanya adalah cermin. Kemampuan kita untuk mengaca dan melihat hal-hal baik dan keunggulan pada siapapun yang ada di sekeliling, baik dia sahabat atau musuh, akan memberi nilai kebaikan pada tiap hubungan yang kita jalin dengan mereka. Kita bercermin, melihat bahwa ada selisih nilai antara kita dan bayang-bayang di dalamnya. Lalu kita menghargai kelebihannya, sehingga kebaikan itu makin bercahaya.

Kebaikan, cinta, sayang adalah cermin. Ketika kita bercermin pada saudara atau sahabat kita, di sanalah kita menatap bayangannya dengan penuh cinta. Dari sanalah, kita belajar lebih. Tak hanya takjub dan kagum dengan apa yang kita lihat, tapi juga disertai dengan upaya untuk mengejar kelebihan mereka, mencapai nilai di mana kita dapat menyentuh tingkatan akhlaq mereka.
Dari sanalah, kita bercermin untuk menggapai derajat yang lebih tinggi. Hingga cinta antara kita dan mereka pun menjadi semakin tinggi, menuju puncak keindahan yang tak semua orang merasakan.

Selasa, 11 Januari 2011

Sebuah jargon

Militansi Tiada Henti!


-----

Setiap kali mendengarnya, ingin rasanya bergerak dan enggan berdiam diri.
Itulah jargon Departemen PSDM FSI SM IKM FKUI.

Kaderisasi anggota aktif (angtif) selama 6 bulan, pada akhirnya menempatkanku sebagai salah satu staf di sana. Dikader oleh PSDM, diamanahkan di PSDM. Bersama 7 orang temanku seangkatan, 4 ikhwan 3 akhwat.

Sejak awal aku tahu, bukan sesuatu yang mudah untuk bertahan di dalamnya. PSDM itu sejenis dengan Departemen Kaderisasi di Senat Mahasiswa IKM FKUI. Bedanya hanya, ranah kami hanya civitas akademika yang muslim.

Sempat kaget juga dengan kaderisasi FSI tahun 2010. Program percepatan dari setahun menjadi 6 bulan ternyata membuat kami sedikit kewalahan. Masuk dengan penyambutan dan perlakuan yang sangat baik dari pengurus PSDM yang telah lebih dulu bergerak. Aku akui, mereka orang-orang hebat.

FSI memang baiti jannati. Rumah kedua bagiku. Terlebih lagi PSDM. :)

Proker PSDM ternyata memang tiada henti, berjalan sepanjang tahun. Oh, jadi itulah alasan mengapa jargonnya seperti itu. hehe.
Mulai dari gencar mendata mahasiswa baru muslim untuk mengisi database. Saat daftar ulang maba di balairung, kami selalu ada. Menganamnesis satu per satu, mulai dari identitas, riwayat organisasi sekarang dan dulu, riwayat mentoring sekarang dan dulu, dan sebagainya.
Setelah database tersusun rapi dalam fole Ms. Excel, kupikir jalanku akan semakin mudah. Satu tugas berakhir.

Ternyata ada tantangan yang lebih berat lagi. Pengelompokan mentoring, atau istilahnya KSI (Kelompok Studi Islam), dan menempatkan mentoring per kelompok. Wow, hingga habislah sudah liburan semester 2 ku kali itu, yang diisi dengan riset dan tugas PSDM. Tapi, aku tak pernah sendiri. :)

I miss you a lot!





Bapak, ibu..
Dia jadi semakin rindu

Aku tahu, kalian selalu bilang
Akan menerimaku apa adanya
Karena betapa berharganya diriku
Bahkan mungkin tak terganti dengan intan permata

Tapi akan sangat sedih bagiku
Jika aku tak bisa memberikan yang terbaik
Untuk kalian
Aku akan mencoba
Terus mencoba

Senin, 10 Januari 2011

Lika-Liku Riset Part 1

Buntu, jalan hampir buntu.

Tapi aku percaya, tak pernah ada akhir.

Betapa tidak menyedihkan? Hari ini, tanggal 10 Januari 2011, tepat satu bulan setelah aku berusia 19 tahun (lhoh??), aku diusir secara halus dari departemen F tempatku mengerjakan riset untuk skripsi. Bukan hanya aku, tapi kami berlima.

"Ya sudah, sekarang kalian rapikan semuanya. Terus bisa pulang", kata dokter D.

Flash back ke perjalanan ku waktu itu...

-ooo-

Desember, 2009

Saat aku bersemangat sekali untuk segera menuntaskan riset, yang akan menjadi skripsi. Aku tak ingin menunda-nunda. Di FKUI, mahasiswa S1 diberikan waktu hingga tingkat 4 untuk riset secara berkelompok. Alhamdulillah, saat itu aku dipertemukan dengan empat orang teman yang juga berniat untuk mencari topik riset secepatnya. Maksimal satu kelompok terdiri atas 5-6 orang. Karena sudah sevisi, tanpa ragu lagi aku menawarkan diri untuk menggenapi. Lengkaplah personel kami.

Lalu kami putuskan untuk mendatangi Departemen F. Berdasarkan penuturan salah seorang dosen di sana, ada banyak riset yang dilakukan dan waktu penelitiannya singkat. Dengan yakin dan mantap, kami sampai di sana.

"Maaf dok, kami mahasiswa tingkat 1, mau tanya. Apa di sini ada penelitian yang akan dikerjakan?" dengan polosnya, gaya maba.

"Wah, hebat ya. Masih tingkat satu sudah pengen riset," jawab dokter E.

Lalu dokter E tersebut menjelaskan panjang lebar mengenai proyek riset yang sedang dilakukannya. Beliau menerima kami untuk berperan serta dalam melaksanakan risetnya. Syaratnya tentu ada, kami harus menyusun proposal sendiri, lengkap dengan anggaran penelitian serta lampiran2. Dengan bekal ilmu yang sedikit, kami beranikan untuk mencoba.

Topik waktu itu, "Uji Kelasi Ekstrak Air Mangiferin terhadap Serum Penderita Thalasemia".

Kami setuju dan mengerti apa yang harus kami lakukan segera. Dengan 2 kontrol dan 5 perlakuan. 24 sampel darah penderita. Semua siap, tinggal dikerjakan.

Lika-Liku Riset Part 2

----- Next Episode -----


Judul baru pun didapat. Kami harus membuat proposal baru.

Alhamdulillah, untuk judul yang ini tak terlalu sulit bagi kami. Karena kelompok teman kami yang waktu itu, juga melakukan riset yang sama. Bahkan mereka sudah menyusun skripsi, paling tidak kami bisa bertanya jika kesulitan.

Bismillah! Dalam waktu libur semester, proposal kembali disusun. Sempat kesal juga diriku ini karena harus kembali ke Jakarta, menikmati liburan yang putus2 karena bolak-balik.

Tapi demi riset, apapun kulakukan. Ibu bapak selalu mendukung. Meski ku tau, mereka masih rindu.

Kendala muncul lagi. Bahan bahan riset dan obat, menggunakan sisa riset sebelumnya. Kami belum tahu apakah bahannya masih bagus, atau sudah rusak. Langkah pertama yang kami lakukan adalah menguji bahan bahan. Seperti mangiferin, desferal (obat untuk thalasemia), ekstrak, dan menunggu serum darah yang dipesan.

Kali ini lebih mudah, menggunakan spektrofotometer. Untuk mengetahui hasil, kami tinggal memasukkan ke alat dan mengecek di komputer. Lagi-lagi, kami tidak dibimbing. Kali ini kami dipegang langsung oleh dokter E, tapi karena kesibukan yang mendampingi tetap dokter D.

Ada yang berubah. Dokter D nampak semakin ramah dan perhatian. Mungkin beliau merasa tidak enak, karena penelitian ini tidak segera berakhir.

Tapi sekali lagi, kami terkendala. Kami tidak tahu, apa yang harus kami lakukan. Dosis berapa yang harus digunakan, bagaimana caranya mengukur kadar, diencerkan berapa kali, mediumnya apa, dll. Perlakuannya apa saja. Kami tidak diajari. Setiap kami bertanya, jawabannya singkat padat dan tidak jelas. Yang membuat kami bertanya-tanya, “Maksudnya dokter E ini apa?”. Setiap bertanya pada dokter D, “Saya sendiri g tau, kemaren dokter E bilang apa?”.

Duh, memang tidak jelas. Kami mencoba sendiri, atas bimbingan dari dokter E. Alhamdulillah, bahan masih bagus. Meskipun kami sendiri kurang mengerti apakah hasil pembacaan di spektro itu bermakna. Hehe.

Tinggal menguji ke serumnya. Sampel serum penderita dimintakan langsung ke Pusat Thalasemia RSCM. Kali ini kami hanya diminta menguji 10 sampel. Serum sudah didapat, kami simpan di kulkas dulu untuk sementara. Mengapa demikian?

Karena kami masih harus menunggu penghitungan kadar feritin. Karena kami tidak bisa melakukannya sendiri dan harus orang ahli, akhirnya yang kami bisa hanya menunggu untuk dikabari. Seperti janji pihak departemen F tersebut.

Karena tak ada penjelasan dan libur semester masih seminggu. Akhirnya kami semua pulang dulu. Nanti kalau kadar feritin sudah dihitung, pihak departemen F akan menghubungi. Baiklah, kami mengerti.

Sudah seminggu berlalu, tidak juga dihubungi. Perkuliahan semester 3 pun dimulai. Sudah sebulan berlalu, belum juga dihubungi. Kami menanyakan ke sana, tapi katanya belum ada. Timbul keputusan untuk mendatangi departemen Anak, menanyakan kejelasan. Dan alangkah kagetnya kami, setelah diberitahu.

"Kadar feritin sudah dihitung sejak dulu, bahkan tiga hari setelah dipesan."

Astaghfirullah..