Senin, 17 Januari 2011

Senja hari ini

Petang ini. Begitu sayu, bagi gadis itu.

Ujian blok menjelang disertai kegundahan hati yang menjelma bagai awan kelabu yang diam-diam menyurutkan semangatnya. Hanya masalah sepele, kenapa jadi begitu rumit.


Atas sebuah kebijakan baru: Penutupan wastafel.


Dia ingat sekali.


Anak-anak kos itu memang kerap membuat kesal. Menumpuk cucian piring di wastafel, meninggalkan sisa makanan berupa tulang, sayur, nasi, dan beraneka lauk sehat yang mungkin mereka santap. Hingga menyumbat lubang kecil yang mengalirkan ke tempat pembuangan. Meluap lah air di cekungannya, tak jarang membuat jenuh si mbak yang bersih-bersih.


Kesal. Dia keluhkan harus mencuci piring-piring anak kos itu karena tak tahan melihat gunungan yang semakin tinggi, mengganggu pandangan mata. Tak tahan jua melihat sisa sisa yang hampir menjamur, menjijikkan. Jengkel membersihkan air yang membanjiri lantai di babwah wastafel.


Hingga akhirnya, mbak bersih-bersih itu mengadukan pada sang majikan, si empunya kos-kosan. Tentunya tidak secara langsung karena beliau tidak tinggal di sana. Mbak itu, hanya bercerita empat mata, mungkin enam mata dengan gadis itu dan kakaknya, anak sang pemilik kos-kosan.


Gadis kecil, mungil, yang duduk di bangku kuliah kedokteran. Semenjak dia tinggal di kos-kosan tersebut, mendadak pangkatnya naik. Menjadi mbak Bos yang punya kuasa sebagai perantara pengambilan kebijakan terkait peraturan kos-kosan, tentunya kos-kosan kedokteran.


Dan semenjak kejadian wastafel itu, gadis tersebut menceritakan kepada ayahnya.


“Bagaimana, yah? Si mbak bilang, banyak cucian menumpuk, air meluap, sisa makanan tertinggal. Kesannya jorok, tidak bisa dibiarkan,” kata gadis itu.

“Baiklah, ditutup saja,” begitu kata ayahnya.


Ternyata keputusan tersebut membuatku gusar kini. Sikap anak-anak kos itu lambat laun menjadi berbeda. Acuh tak acuh, mereka meminta untuk pengumpulan aspirasi. Penutupan wastafel membuat mereka tak bisa melakukan aktivitas di sana. Riuh sana-sini. Malah yang semakin mengejutkan, bukan lagi di wastafel yang jorok, tapi di tempat menjemur baju. Di atas. Wow, ternyata sisa-sisa tulang, sayur, nasi, dan sebagainya pindah ke atas. Mereka bermigrasi ke sana. Bukan karena mereka yang berjalan-jalan dengan sendirinya, seram. Akan tetapi, anak-anak kos itu yang nomaden.


Hmm, sekarang mereka meminta gadis kecil untuk mendengarkan aspirasi. Apa hendak dikata. Ayah gadis itu, bahkan sudah pernah melakukan hal yang sama di kos-kosan beberapa waktu lalu. Tapi mereka ngeyel, dan berulah lagi di kemudian hari. Kasihan gadis itu, kerap mendapat senyum kecut, atau sikap yang kurang mengenakkan, selaku Mbak Bos. Mungkin karena badannya yang kecil, jadi sedikit diabaikan. Padahal kebijakan “Penutupan Wastafel” untuk yang terbaik, demi tempat tinggal yang indah dan nyaman, jauh dari kuman-kuman penyakit.


Introspeksi. Kata anak kos, gadis itu butuh introspeksi. Mereka juga.


Semakin heran, apalagi yang hendak dicari? Mungkin sama-sama menilik lebih dalam, kebermanfaatan wastafel malang itu di kos-kosan. Mungkin sama-sama mengoreksi, kelalaian yang sudah terjadi. Mungkin juga, atas kebijakan sepihak yang sulit diterima.


Gadis itu sadar sepenuhnya, anak kedokteran memang sibuk, sibuk kuliah sibuk belajar. Sampai-sampai malas mencuci piring baju dan menjaga kebersihan keindahan. Tapi itu bukan alasan yang bisa diterima. Kasihan si mbak bersih-bersih, harus mengerjakan tugas yang bukan menjadi tanggung jawabnya. Sulit.


Sikap mereka tak kunjung diubah. Semakin menjadi.


Sekali lagi.


Sudah tiga kali, wastafel itu ditutup lalu ditelaah isinya. Mencari tau, penyebab apa yang menyumbatnya berulang kali hingga banjir. Satu hal yang sama, “Sisa-sisa tulang, sayur, nasi, dan lauk lain” ditemukan juga di sana. Itulah yang memantapkan gadis kecil untuk menutup telinganya akan desakan aspirasi yang perlahan-lahan mengganggu ketenangannya.


Senyum yang jarang dibalas, sikap yang sering tak dianggap, dan semuanya yang membuat gadis itu merasa tak mampu menjadi Mbak Bos.


Besok ujian, gadis itu harus belajar. Tanpa memikirkan urusan penutupan wastafel yang berkepanjangan. Tak ada gunanya, tak ada manfaat bagi masa depannya.


Mereka sudah dewasa, pasti menyadari setiap sikap dan ucapnya.


“Tenang saja,” pikirnya, “Suatu saat nanti mereka pasti mengerti.”

“Iya, kebaikan memang terkadang sulit diterima, tapi indah pada akhirnya. Kali ini kau belajar, untuk menjadi Mbak Bos yang bijaksana, dan lebih tegas. Ikhlas menerima dan jangan ragu. Semangat!” kata seorang temannya yang jauh di sana.


Gadis mungil tersebut faham, berpikir dalam-dalam di sore itu. Dia berniat akan tetap melanjutkan hari-harinya tanpa ambil pusing masalah penutupan wastafel, tak ada gunanya. Kalau saja, mereka mau berjanji untuk membuang sampah sisa makanannya sebelum mencuci piring di sana, tentu tak begini akhirnya. Tapi bukti tiga kali penguakan wastafel itu tak dapat mengubah niatnya kini. Terserah apa kata mereka.


“Ya, aku belajar saja. Menyingkirkan kerikil-kerikil penoda hati.”

Gadis itu, pasti bisa.


.:. for someone there, "Semangat nduk!"

ayo mesem..

0 komentar:

Posting Komentar