Senin, 10 Januari 2011

Lika-Liku Riset Part 2

----- Next Episode -----


Judul baru pun didapat. Kami harus membuat proposal baru.

Alhamdulillah, untuk judul yang ini tak terlalu sulit bagi kami. Karena kelompok teman kami yang waktu itu, juga melakukan riset yang sama. Bahkan mereka sudah menyusun skripsi, paling tidak kami bisa bertanya jika kesulitan.

Bismillah! Dalam waktu libur semester, proposal kembali disusun. Sempat kesal juga diriku ini karena harus kembali ke Jakarta, menikmati liburan yang putus2 karena bolak-balik.

Tapi demi riset, apapun kulakukan. Ibu bapak selalu mendukung. Meski ku tau, mereka masih rindu.

Kendala muncul lagi. Bahan bahan riset dan obat, menggunakan sisa riset sebelumnya. Kami belum tahu apakah bahannya masih bagus, atau sudah rusak. Langkah pertama yang kami lakukan adalah menguji bahan bahan. Seperti mangiferin, desferal (obat untuk thalasemia), ekstrak, dan menunggu serum darah yang dipesan.

Kali ini lebih mudah, menggunakan spektrofotometer. Untuk mengetahui hasil, kami tinggal memasukkan ke alat dan mengecek di komputer. Lagi-lagi, kami tidak dibimbing. Kali ini kami dipegang langsung oleh dokter E, tapi karena kesibukan yang mendampingi tetap dokter D.

Ada yang berubah. Dokter D nampak semakin ramah dan perhatian. Mungkin beliau merasa tidak enak, karena penelitian ini tidak segera berakhir.

Tapi sekali lagi, kami terkendala. Kami tidak tahu, apa yang harus kami lakukan. Dosis berapa yang harus digunakan, bagaimana caranya mengukur kadar, diencerkan berapa kali, mediumnya apa, dll. Perlakuannya apa saja. Kami tidak diajari. Setiap kami bertanya, jawabannya singkat padat dan tidak jelas. Yang membuat kami bertanya-tanya, “Maksudnya dokter E ini apa?”. Setiap bertanya pada dokter D, “Saya sendiri g tau, kemaren dokter E bilang apa?”.

Duh, memang tidak jelas. Kami mencoba sendiri, atas bimbingan dari dokter E. Alhamdulillah, bahan masih bagus. Meskipun kami sendiri kurang mengerti apakah hasil pembacaan di spektro itu bermakna. Hehe.

Tinggal menguji ke serumnya. Sampel serum penderita dimintakan langsung ke Pusat Thalasemia RSCM. Kali ini kami hanya diminta menguji 10 sampel. Serum sudah didapat, kami simpan di kulkas dulu untuk sementara. Mengapa demikian?

Karena kami masih harus menunggu penghitungan kadar feritin. Karena kami tidak bisa melakukannya sendiri dan harus orang ahli, akhirnya yang kami bisa hanya menunggu untuk dikabari. Seperti janji pihak departemen F tersebut.

Karena tak ada penjelasan dan libur semester masih seminggu. Akhirnya kami semua pulang dulu. Nanti kalau kadar feritin sudah dihitung, pihak departemen F akan menghubungi. Baiklah, kami mengerti.

Sudah seminggu berlalu, tidak juga dihubungi. Perkuliahan semester 3 pun dimulai. Sudah sebulan berlalu, belum juga dihubungi. Kami menanyakan ke sana, tapi katanya belum ada. Timbul keputusan untuk mendatangi departemen Anak, menanyakan kejelasan. Dan alangkah kagetnya kami, setelah diberitahu.

"Kadar feritin sudah dihitung sejak dulu, bahkan tiga hari setelah dipesan."

Astaghfirullah..

Tiba-tiba, tak berapa lama setelah hari itu, Bu DK (pembimbing riset kelompok teman kami yang baik hati) mengatakan, “Serumnya sudah ada, sudah dihitung kadar Feritin nya.”

Ya sudah tak apa, berarti tinggal menguji saja ke serumnya. Kami mencari celah waktu di sela-sela kuliah untuk riset, tapi lagi-lagi ada kendala. Kami tak tahu, bagaimana menggunakannya. Setiap kali kami bertanya, disuruh tanya ke kelompok pendahulu. Judul kami memang sama, tapi perlakuannya berbeda. Tiap kali kami bertanya ke Bu DK, beliau menjawab ala kadarnya. Entah mengapa, dari dulu, beliau membedakan sikapnya ke kami. Mungkin karena beliau merasa, kami ini bukan tanggung jawabnya. Jadi, bukan kewajiban beliau untuk membimbing. Benar juga.

Berbulan-bulan kami dilanda kebingungan. Berusaha mencari terang, tapi tak benderang. Serum darah tak bisa digunakan disimpan terlalu lama. Berulang kali kami dikejar-kejar. “Kapan mau riset lagi?”

Jujur saja, kesibukan akademis dan organisasi membuat waktu kami cukup tersita. Hingga kami mengakui, prioritas untuk riset sedikit terabai. Tapi bagaimana juga, setiap kami akan memulai untuk menguji. Kami kebingungan. Terkadang penjelasan hanya didapat dari jawaban sms dokter E dan D yang singkat singkat, tanpa tatap muka.

Yang selalu diingatkan adalah “Kalau darahnya sudah rusak, kami harus mengganti 1 juta untuk membeli sampel baru”. InsyaAllah kami siap, apapun hasilnya.

Lucunya, hal tersebut semakin lama membuat kami takut. Setiap kali bertemu dokter D di jalan, teman2 selalu bersembunyi. Karena pasti ditanyai, kapan mau mulai lagi. Hehe.

Dokter D sendiri tidak tahu apa2 tentang prosedur riset kami, beliau tak tahu apa2.

Kami memutuskan, akhir semester 3 akan melanjutkan. Karena jadwal kuliah memang sangat padat. Dan ketika kami berlima akan meriset di hari sabtu minggu, selalu saja bentrok.

Menjelang akhir semester 3, kami menyiapkan konsep yang matang untuk memulai pengujian ke serum. Membaca skripsi kelompok teman kami, bimbingan Bu DK. Meskipun bingung dan abstrak serta berulang kali bertanya ke orang terkait, sedikit-sedikit kami mengerti juga. Diencerkan segini, dicampur dengan ini. Aku akui, tidak sulit, tetapi rumit. J

Sekali lagi, kami berusaha mencari jawabannya sendiri, memahami menurut pemikiran kami sendiri. Karena kami tak pernah dibimbing seutuhnya.

Kemarin Jum’at, hari terakhir kami ujian. Kami mendatangi Departemen F dengan langkah mantap, kali ini pasti berhasil. Alat dan bahan telah kami siapkan di hari-hari sebelumnya. Semoga darahnya masih bagus, amin.

Saat itu juga, kami mencoba. Tetapi terkendala lagi. Karena pembimbing tidak datang, sms2 kami untuk meminta kejelasan tidak dijawab. Sekali lagi kukatakan, riset kami berbeda dengan mereka. Sukses, hari Jum’at kami tak mendapat apa-apa.

Hari Sabtu kemarin, kami datang lagi. Alhamdulillah, semua alat bahan tersedia. Kejelasan juga ada. Kami bisa memulai. Kata dokter E, pengujian serum bisa dilakukan.

Kami sudah bertanya, “Perlukah sampel darah di sentrifuge dok?”

Kata beliau berdua, tidak perlu. Kami menurut saja, hanya disuruh mengambil darah yang di permukaan. Darah yang di atas sudah terpisah. Kalau kami melakukan sedikit saja kesalahan, Dokter D mengomel. Padahal sudah menjadi sesuatu yang wajar, ketika melakukan riset dan gagal. Benar bukan??

Itulah yang membuat kami takut untuk bergerak sesuka hati. Hehe.

Akhirnya di hari Sabtu itu, kami berhasil menguji sampel darahnya. Kami pandang-pandangi grafik absorban dan transmittance di layar. Kami berhasil melakukannya. Senang sekali..

Karena tidak ada yang bisa ditanyai, hasilnya di grafik tersebut bagus atau tidak, jadi kami menunggu hingga senin ini. Optimis, 3 hari lagi penelitian selesai. Karena kelompok teman kami, dengan 24 serum bisa selesai 4-6 hari, itu artinya kami bisa lebih cepat dari itu...

Senin pagi ini...

Dokter E sedang keluar kota, entah kapan pulangnya.

Dokter D belum datang.

Bu DK ada di kantornya. Aha, bisa ditanyai.

Kami meminta izin bertemu Bu DK.

“Ada apa ya?”

“Jadi gini dok, kami kemarin sudah menguji darahnya. Sudah ada hasilnya pakai spektro, tapi kami tidak tahu hasilnya itu bagus atau tidak. Itu tanpa medium dok. Boleh tolong dilihat?”

“Iya, tidak pakai medium tidak apa2. Bedanya g jauh kok.”

Setelah dilihat.

“Dosis serumnya berapa? Kok g keliatan hasilnya?”

“-_____- Pake yang 100 mikro dok.“

“Oh, coba dibesarin dosisnya biar keliatan. Jadi 200 atau 300.”

“Baik dok.”

“Kalian pake serumnya kan?”

“Iya dok, kata dokter E kemaren disuruh ambil permukaannya aja pake pipet steril.”

“Mana coba lihat?”

“Ini dok (sambil melihatkan 10 sampel serum).”

“Loh, kok pake darah murni? Ini bukan serumnya berarti.”

“Tapi kemarin kata dokter E, g perlu disentrifuge dok.”

“Mungkin dokter E dari dulu ngiranya, udah berupa serum.”

“Oh begitu ya dok, padahal kami sudah bilang darahnya masih murni.”

“Iya, kalau begini harus di sentrifuge dulu biar kepisah serum dan plasmanya.”

Hiks hiks hiks.

Ya sudah, kami bergerak cepat. Meminta bantuan staf Departemen F untuk membuat surat pengantar, lalu bilang ke dokter D. Diomelin lagi, itu pasti.

Lewat prosedur yang rumit pula, darah berhasil di sentrifuge. 2 jam setelahnya, kami dipanggil ke Departemen Biokim yang melakukan setrifuge. Mereka mengabarkan berita yang hampir meruntuhkan semangat kami.

“Darahnya sudah lisis semua mbak.” T___T

Memang tampak jelas, serum dan plasma menyatu, tidak terpisah. Sudah pasti, dokter D akan marah besar, dokter E juga.

Kami diceramahi oleh Prof Sadikin, dosen biokim. Dijelaskan macam2 tentang prosedur penyimpanan sampel dan penggunaan sampel darah pasien. Tidak bisa main-main. Kami ditanya, kenapa sampai lama sekali darahnya disimpan, kenapa tidak dari dulu, kenapa disimpan di kulkas, kenapa banyak sekali ambil darahnya (sampe 6cc) padahal yang dipakai hanya 500 mikro serum, kenapa begini kenapa begitu. Seharusnya, tiga hari setelah darah ada, langsung di sentrifuge, dipisahkan serum dan plasma. Serum bertahan di dalam suhu dingin, kalau darah di suhu yang lebih tinggi.

Baiknya, Prof mau menjelaskan panjang lebar. Menjadi pembimbing sementara yang luar biasa. Seperti oase di tengah gurun, sebelum kami bertemu dengan kaktus berduri.

Dalam hati. Jujur, kami tidak tahu apa-apa dok. Kami hanya disuruh bertanya ke kelompok sebelumnya. Sedang mereka tinggal melakukan langsung prosedur yang diajarkan Bu DK. Mana kami tahu harus seperti ini seperti itu. Entah siapa yang salah, tapi kami akui, kami memang kurang mengeksplore dan mencari tahu.

Ya sudah, mau bagaimana lagi. Kami sms ke dokter E dan D.

“Maaf dok, tadi kami sudah sentrifuge ke biokim. Darahnya sudah lisis semua, tercampur antara plasma dan serum. Kira-kira kalau minta sampel lagi bagaimana dok?”

Teman-teman panik, takut akan kenyataan yang akan dihadapi.

Salah seorang teman saya sampai sembunyi di kolong meja. Hehe.

Dokter D pun datang. “Kita kumpul sebentar ya.”

“Jadi gimana?”

Dengan berusaha tenang, aku jawab.

“Iya dok, tadi kami sudah ke biokim. Ternyata darahnya lisis.”

“Kira-kira kenapa bisa begitu ya?”

“Mungkin karena kelamaan nyimpennya dok. Kata Prof juga g boleh disimpan di tempat dingin. Harusnya begitu dapet sampel langsung di sentrifuge, bla bla bla...”

“Oh ya sudah, berarti jadikan ini pelajaran. Saya juga sih yang salah, karena tidak bisa membimbing dari dulu. Karena benar2 tidak sempat. Dokter E sering bilang, bimbing mahasiswanya, takut darahnya keburu rusak. Saya juga pikirnya darah yang di kulkas itu berupa serum. Salah saya, saya g lihat dulu. Aduh, dokter E pasti marah..”

“Iya dok, kami juga minta maaf kalau ada salah. Sebenarnya kami sudah bilang darahnya masih murni, tapi mungkin juga dokter E tahunya sudah berupa sentrifuge.”

“Ya sudah, gpp. Mau gimana lagi. Koordinasi dan komunikasinya juga kurang. Berarti sekarang, g bisa lanjut lagi.”

“Maksudnya dok? Apa g bisa minta sampe lagi.”

“Kita pake sampel darah pasien, itu g main-main. Kalaupun minta lagi, kemungkinan besar tidak bisa. Apalagi mintanya kemaren banyak sekali. Jadi ya terserah kalian mau ganti judul atau cari topik di tempat lain.”

Ya Robbi, padahal kami tak pernah meminta sampel sebanyak itu. Kami juga berusaha mencari tahu, meminta kejelasan. Tapi tetap saja terjadi misskom. Aku terdiam beberapa saat, bagaimana nasib kami ke depan??

Kuberanikan diri bertanya, “Maaf dok, kalau di sini apa masih ada topik penelitian?”

“Ada. Kemarin Dokter F sedang mengajukan dana. Tapi pakai mencit.”

“Apa g mungkin kalau kami minta sampel darah lagi dok.”

“Ya itu sulit, karena kemarin sudah minta tapi malah rusak. Kita g enak sama Departemen Anak.”

“Oh gitu ya dok.”

“Ya sudah, sekarang kalian rapikan semuanya. Terus bisa pulang.”

.......................................................................................................

“Terimakasih dok.”

Beberapa saat pula, kami sempat membahas rencana mencari topik baru di tempat lain. Dengan kata lain siap menyusun proposal baru. Tapi, sungguhkah kami siap??

Ya Allah, bantu hamba.. Yang buruk menurut kami belum tentu buruk untukMu, dan yang baik menurut kami belum tentu baik untukMu ya Allah.. :’(

Kini kami hanya bisa pasrah, semoga kemudahan dan bimbingan Allah selalu menyertai.

Satu hal yang kami yakini, “Masih ada harapan”.

Kami belum bertemu Dokter E. Waktu itu, beliau sempat mengatakan. Kami boleh memesan sampel lagi atas biaya sendiri. Kami siap insyaAllah. Kami siap!

Di saat kami sudah mengerti prosedur penelitian dengan baik, bahkan kami yakin 3 hari ke depan bisa selesai. Ternyata halangan tak henti menghampiri. Masih saja menyapa, dengan makna dan hikmah yang berbeda. Beragam arti, tergantung bagaimana kita bisa menerima dan menyikapi.

Allah selalu menggariskan jalan yang terbaik, meskipun harus didahului dengan beban akal yang tak henti berpikir, peluh yang bagai tanpa akhir, dan lelah yang telah terukir..

Tenanglah, kita masih punya hati kawan. Yang akan selalu berusaha mengerti dan memahami bahwa halangan bukan berarti harus mengakhiri tantangan. Tapi awal untuk terus berjuang. Semangat!

Jalan masih panjang. Percayalah, semakin berliku jalan kita, semakin indah pula akhirnya..

Amin Ya Robbal ‘Alamin


Kita masih bisa mencoba kawan!!! Meski satu tahun berlalu dan ikhtiar kita belum tertuju. Berjanjilah kita akan tetap bersungguh-sungguh dan fokus!!! :)


Perlu diketahui, saat aku menuliskan cerita ini. Teman satu kelompok kami yang mulai bersama2 waktu itu, akan menghadapi sidang minggu depan. Beberapa kelompok teman kami juga sudah mempersiapkan skripsi. Dan hampir menyelesaikan riset masing-masing.

Bahkan jika mereka menilai, kami kelompok riset paling bermasalah atau ilang-ilangan, kami tak masalah. Karena tak semua mengerti bagaimana keadaannya. Biarlah menjadi bagian dari kisah klasik masa depan.

Optimis, aku optimis. Selalu ada jalan.

0 komentar:

Posting Komentar