Kamis, 13 Januari 2011

HAM dan Bioetik

Saya tak ahli di bidang ini, meraba-raba tak mengerti. Mencoba sejenak, menjadi seorang mahasiswa hukum, sosial, dan politik (beratnya). Atas tuntutan tugas dari seorang dosen untuk kami semua, Prof. Agus Purwadianto, seorang guru besar forensik.

"Spesialis forensik itu ahli surga. Hak asasi manusia dan sebagainya merupakan hak tertinggi dan berada di kaki surga," hehe.
Maafkan saya Prof, nakal mengutip kata2nya.

--ooo--

Hak Asasi Manusia, yang lebih dikenal dengan istilah HAM merupakan hak dasar yang utama sebagai seorang manusia. Sebagai warga negara, manusia memiliki jaminan HAM yang wajib dijunjung tinggi oleh negara dan pemerintah yang berkuasa di dalamnya. Aspek HAM ini mencakup aspek sipil, politik, ekonomi, sosial, serta moral.

Pemerintah menjalankan tugasnya yang tercakup dalam negara yang diaturnya. Di sini, pemerintah memiliki dua fungsi, sebagai aperture dan profesi. Fungsi aperture terwujud dalam upaya perlindungan terhadap hak sipil serta hak politik warga negara. Hak tersebut merupakan hak yang berada di generasi pertama. Fungsi yang satunya lagi, yakni profesi mengatasnamakan pemerintah dalam menyusuri tugas-tugasnya. Dengan izin dan peraturan yang dibuat sendiri oleh pemerintah, mereka memenuhi kebutuhan dan kedaulatan negara yang diembannya. Profesi sebagai pemerintah menuntut untuk terjaminnya hak asasi manusia. Sesuai dengan asa subsidiaritas yang berarti pemerintah menitipkan kewajibannya dalam melindungi hak warganya kepada profesi. Hak yang dilindungi profesi adalah hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak tersebut terdaftar dalam deretan hak generasi kedua.

Hak sipil politik yang tegak dalam dunia kedokteran Indonesia dijalankan dan dijunjung tinggi oleh assesing doctor. Assesing doctor merupakan dokter yang bertugas untuk mengkaji hukum kedokteran sipil politik lebih dalam serta mengangkatnya ke permukaan untuk mencari keadilan dan kebenaran, seperti dokter forensik (lebih spesifik). Sedangkan hak ekonomi, sosial, dan budaya, yang salah satunya membahas mengenai arti pentingnya kesehatan dan segala yang tercakup di dalamnya, menjadi kewajiban yang dipegang oleh seorang treating doctor. Treating doctor merupakan dokter yang mengabdi pada masyarakat, mengobati dan mendengarkan setiap keluhan pasien, serta menjaga erat hubungan pasien dengannya.

Salah satu hak asasi manusia yang penting ialah hak moral. Hak moral ini dapat diakui sebagai hak hukum, melalui proses justifikasi yang cukup panjang. Proses ini dapat dilakukan oleh presiden ataupun DPR. Hak moral dalam dunia kedokteran Indonesia dikenal dengan istilah bioetik.

Kaidah Dasar Bioetik adalah aksioma yang mempermudah penalaran etik. Empat prinsip yang ada di dalamnya harus spesifik. Pada praktiknya, satu prinsip dapat dilaksanakan bersamaan dengan prinsip yang lain. Tetapi pada beberapa kasus, karena kondisi berbeda, satu prinsip menjadi lebih penting dan sah untuk digunakan dengan mengorbankan prinsip yang lain. Keadaan terakhir disebut dengan prima facie.

Praktik kedokteran Indonesia mengacu kepada empat kaidah dasar:

a) Menghormati martabat manusia (respect for person/autonomy). Menghormati martabat manusia. Pertama, setiap individu (pasien) harus diperlakukan sebagai manusia yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasib diri sendiri), dan kedua, setiap manusia yang otonominya berkurang atau hilang perlu mendapatkan perlindungan.

b) Berbuat baik (beneficence). Selain menghormati martabat manusia, dokter juga harus mengusahakan agar pasien yang dirawatnya terjaga keadaan kesehatannya (patient welfare). Pengertian ”berbuat baik” diartikan bersikap ramah atau menolong, lebih dari sekedar memenuhi kewajiban.

Tindakan berbuat baik (beneficence), terbagi menjadi:

· General beneficence :

1. melindungi & mempertahankan hak yang lain

2. mencegah terjadi kerugian pada yang lain,

3. menghilangkan kondisi penyebab kerugian pada yang lain

· Specific beneficence :

1. menolong orang cacat,

2. menyelamatkan orang dari bahaya.

Tindakan berbuat baik yang lain ialah:

ü Mengutamakan kepentingan pasien

ü Memandang pasien/keluarga/sesuatu tak hanya sejauh menguntungkan dokter/rumah sakit/pihak lain

ü Maksimalisasi akibat baik (termasuk jumlahnya > akibat-buruk)

ü Menjamin nilai pokok : “apa saja yang ada, pantas (elok) kita bersikap baik terhadapnya” (apalagi ada yg hidup).

c) Tidak berbuat yang merugikan (non-maleficence). Praktik Kedokteran haruslah memilih pengobatan yang paling kecil risikonya dan paling besar manfaatnya. Pernyataan kuno: first, do no harm, tetap berlaku dan harus diikuti.

o Sisi komplementer beneficence dari sudut pandang pasien, seperti:

- Tidak boleh berbuat jahat (evil) atau membuat derita (harm) pasien

- Minimalisasi akibat buruk

o Kewajiban dokter untuk menganut ini berdasarkan hal-hal:

- Pasien dalam keadaan amat berbahaya atau berisiko hilangnya sesuatu yang penting

- Dokter sanggup mencegah bahaya atau kehilangan tersebut

- Tindakan kedokteran tadi terbukti efektif

- Manfaat bagi pasien > kerugian dokter (hanya mengalami risiko minimal).

o Norma tunggal, isinya larangan

d) Keadilan (justice). Perbedaan kedudukan sosial, tingkat ekonomi, pandangan politik, agama dan faham kepercayaan, kebangsaan dan kewarganegaraan, status perkawinan, serta perbedaan jender tidak boleh dan tidak dapat mengubah sikap dokter terhadap pasiennya. Tidak ada pertimbangan lain selain kesehatan pasien yang menjadi perhatian utama dokter.

· Treat similar cases in a similar way = justice within morality.

· Memberi perlakuan sama untuk setiap orang (keadilan sebagai fairness) yakni:

1. Memberi sumbangan relatif sama terhadap kebahagiaan diukur dari kebutuhan mereka (kesamaan sumbangan sesuai kebutuhan pasien yang memerlukan/membahagiakannya)

2. Menuntut pengorbanan relatif sama, diukur dengan kemampuan mereka (kesamaan beban sesuai dengan kemampuan pasien)

Tujuan dari prinsip justice ini adalah menjamin nilai tak berhingga setiap pasien sebagai mahluk berakal budi (bermartabat), khususnya yang-hak dan yang-baik

Jenis keadilan terbagi menjadi:

a. Komparatif (perbandingan antar kebutuhan penerima)

b. Distributif (membagi sumber) à kebajikan membagikan sumber-sumber kenikmatan dan beban bersama, dengan cara rata/merata, sesuai keselarasan sifat dan tingkat perbedaan jasmani rohani secara material kepada:

§ Setiap orang andil yang sama

§ Setiap orang sesuai dengan kebutuhannya

§ Setiap orang sesuai upayanya

§ Setiap orang sesuai kontribusinya

§ Setiap orang sesuai jasanya

§ Setiap orang sesuai bursa pasar bebas

c. Sosial, merupakan kebajikan melaksanakan dan memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bersama:

§ Utilitarian à memaksimalkan kemanfaatan publik dengan strategi menekankan efisiensi social dan memaksimalkan nikmat/keuntungan bagi pasien.

§ Libertarian à menekankan hak kemerdekaan social – ekonomi (mementingkan prosedur adil > hasil substantif/materiil).

§ Komunitarian à mementingkan tradisi komunitas tertentu

§ Egalitarian à kesamaan akses terhadap nikmat dalam hidupyang dianggap bernilai oleh setiap individu rasional (sering menerapkan criteria material kebutuhan dan kesamaan).

d. Hukum (umum):

§ Tukar menukar à kebajikan memberikan / mengembalikan hak-hak kepada yang berhak.

§ pembagian sesuai dengan hukum (pengaturan untuk kedamaian hidup bersama) mencapai kesejahteraan umum.

Dalam kondisi atau konteks tertentu, yang tergantung dari situasi, kondisi, dan toleransi, seorang dokter harus melakukan pemilihan 1 kaidah dasar bioetik yang paling sesuai dengan kasus konkret yang ada. Inilah yang disebut pemilihan berdasarkan asas prima facie. Bioetik yang saat ini masih terbatas pada upaya penegakan hukum medikolegal yang dibahas mendalam pada studi kedokteran forensik dan telah diterapkan dalam praktik kedokteran sehari-hari.

Ada satu bidang lagi yang diharapkan dapat mulai dikembangkan di Indonesia, yakni mengenai etikolegal. Suatu saat nanti, etikolegal yang akan memegang peranan penting dalam setiap tingkah laku untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat dan pemerintah, terutama di bidang kesehatan. Misalkan kejelasan tentang pengaplikasian stem cell yang sampai saat ini masih menjadi tanda tanya besar, dibolehkan atau tidak. Karena pada dasarnya, kita akan kembali pada hak asasi manusia, yang dijabarkan dalam UU No. 39 tahun 1999, Declaration of Independence of USA (Deklarasi Kemerdekaarn Amerika Serikat), Deklarasi Universal HAM, Undang-Undang Dasar 1945, dan sebagainya.

”Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.” Undang Undang Dasar 1945 (pasal 28 I ayat 1)

HAM di antaranya adalah:

a. Hak untuk hidup

b. Hak untuk bebas dari rasa takut

c. Hak untuk bekerja

d. Hak untuk mendapatkan pendidikan

e. Hak untuk mendapatkan persamaan di mata hukum

f. dan seterusnya

Referensi:

1. KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA PENYELENGGARAAN PRAKTIK KEDOKTERAN YANG BAIK DI INDONESIA 2006

2. Agus Purwadianto, Segi Kontekstual Pemilihan Prima Facie Kasus Dilemma Etik dan Penyelesaian Kasus Konkrit Etik, dalam bahan bacaan Program Non Gelar Blok II FKUI Juni 2007

2 komentar:

jagoanmertua mengatakan...

@-@

mahasiswa kedokteran, atau mahasiswa fisipol to kamu???hehe

Nurmita mengatakan...

Saya mahasiswa kedokteran..
Tapi saya juga belajar medikolegal..

I just write and share.. :)

Posting Komentar