Senin, 12 Juli 2010

Belajar dari mereka

Saat itu, diskusi usai lebih awal. Kira-kira pukul 11.oo kurang. Tak ada tempat di kampus yang bagiku menenangkan kecuali masjid At Tauhid ARH UI. Selain lokasinya yang tidak begitu jauh dari ruang diskusiku, tempatnya pun nyaman dan adem.
Hingga kuputuskan untuk segera melangkahkan kaki ke tempat yang dituju, lantai 2.

Ternyata ada seorang teman yang sampai lebih dulu sampai di sana. Dia tampak sedang bercakap dengan seorang ibu yang usianya sekitar 30-an, di dekatnya ada seorang anak kecil laki-laki yang berjalan ke sana ke mari. Juga tak jauh dari sana, ada seorang lagi, mbak-mbak yang sedang duduk. Yang kulakukan waktu itu, segera menemui temanku dan ikut bercengkerama dengan ibu tersebut.

Temanku sedikit menjelaskan, siapa ibu itu. Ternyata, beliau sedang mencoba menawarkan dagangannya pada temanku. Beberapa botol sari kurma terlihat rapi dalam plastik di sampingnya. Dijual dengan harga dua puluh ribu per botolnya. Aku penasaran, ingin tahu lebih detail tentang sang ibu dan anaknya.

Yang aku tangkap dari cerita beliau, seperti ini.
Ibu dan anaknya tersebut adalah musafir yang tanpa sengaja sampai di masjid ARH. Beliau asli dari Jogja, datang ke Jakarta niatnya ingin mencari lapangan kerja. Suaminya sudah tidak ada. Mempunyai tiga orang putra, dua perempuan dan satu laki-laki. Yang besar sudah SMP, yang nomor dua masih SD, si kecil bernama Dimas, yang masih TK Nol Besar. Mereka berdua, dengan modal dan uang yang minim memberanikan diri untuk mengadu nasib di Jakarta. Alhamdulillah, sang ibu diterima bekerja konveksi di Depok, tapi atas izinNya perusahaan kecil tersebut bangkrut. Kebutuhan hidup harus dipenuhi, kontrakan rumah harus ditunaikan juga. Sayangnya, tabungan mulai menipis dan hampir tiada sisa. Benar-benar tiada sisa. Ibu dan Dimas tak mampu lagi membayar uang kontrakan. Hingga salah seorang temannya yang iba, menawarkan ibu untuk menjual sari kurma. Setidaknya bisa untuk makan dan untuk transport.
"Lumayan, kalau laku semua, bisa pulang ke Jogja," katanya.

Aku pun semakin penasaran, selama ini beliau tinggal di mana. Dari masjid ke masjid. Itulah jawabnya. Ibu dan Dimas, berpindah dari masjid yang satu ke masjid yang lain. Dari depok, kemudian ke Jakarta. Kalau menemui spanduk "Pengajian Akbar" di jalan, tak tanggung-tanggung mereka segera mengunjunginya. Sebuah niatan yang suci, ikhlas dari hati seorang hamba. Aku salut, hati semakin gerimis mendengarnya. Hari ini (waktu itu), mereka sampai di masjid cintaku.

"Kasihan Dimas, dia masih pengen belajar di sekolahnya. Makanya saya masih sering ke depok. Gurunya juga bilang, sayang kalau berhenti. Dimas anak yang pintar. Dia juga masih pengen ketemu temen-temennya. Kadang saya nangis, kalau lihat dia. Mau makan susah, kalau blm ada rejeki ya puasa. Dia juga sering ikut puasa sama saya. Alhamdulillah, dia ngerti. Anak saya yang besar juga kadang telpon, ke rumah teman saya yang di depok itu. Saya selalu titip pesan, jangan bilang ke anak saya kalau sayang sekarang g punya tempat tinggal, bilang saja saya sedang kerja. Anak saya sampai mau nyusul ke Jakarta mbak. Mereka di rumah sama mbahnya. Dimas ini seneng di sini, ada temennya. Biasanya dia sendirian," tuturnya.

Sungguh, aku terharu. Hanya terdiam, dan hatiku yang menjawabnya. "Barakallahu fiik ya ummi.."
Sesekali kulihat Dimas, ia sedang bermain puzzle dan pesawat-pesawatan dengan mbak-mbak yang sedang duduk itu. Sesekali juga, ia mengajakku bermain, menawarkan botol-botol kurma yang ada, menggodaku dan temanku, serta berbagi cerita tentang sekolahnya. Kasihan sekali dia, ya Rabb..

Komunikasi berjalan dua arah. Ibu pun bertanya, aku kuliah di mana, dari mana, tinggal di mana. Deskripsi singkat tentangku dan temanku.
"Kita berdua tinggalnya di asrama Wisma Rini bu, yang di otista," kataku.
Beliau pun menjawab, "Oh yang di dekat gelanggang remaja itu ya? Saya tahu asrama itu."
Hmm, sudah tau ya?

Berusaha berempati dengan baik, sedikit berunding dengan temanku itu. Lalu kami sepakat, satu botol untuk berdua. Patungan, urunan, sepuluh ribu-sepuluh ribu. Dimas pun dengan polosnya berkata, "Yang ini atau yang ini Kak? Kalo yang ini buat aku, ini buat kakak."
Aku tersenyum melihat tingkahnya.

Waktu dzuhur pun tiba. Pembicaraan kuakhiri, selesai. Usai sholat, Ibu itu memanggil temanku. Mereka berdua tampak sedang bicara serius di dekat tangga. Aku menunggu. Temanku pun datang, dia bilang.
"Ibu tadi mau pinjem uang. Katanya kalo boleh, hari ini mau pulang ke Jogja. Udah g kuat di sini. Pengen banget pulang, Dimas juga sering minta pulang, kangen kakak-kakaknya. Gimana ni?"

Berpikir sejenak, apa yang harus kulakukan. Aku belum terlalu kenal beliau, belum cukup kenal. Tapi saat itu, hanya aku dan temanku yang ada, yang Allah minta untuk menolongnya. Sesama orang Jawa, rasa tidak tegaan dan pekewuh itu pun muncul dengan sendirinya. Pertentangan hati, lagi. Tak ada salahnya berbagi rezeki, tak ada salahnya berkorban untuk kebaikan. Sedekah itu investasi akhirat, teringat tausyiahnya Ustadz Yusuf Mansur tentang sedekah.

YA. Kereta ekonomi ada yang berangkat siang ini. Biarkan mereka pulang, menyudahi penat dan lelah yang ada. Biarkan mereka melepas kerinduan dengan keluarga tercinta. Aku dan temanku pun kembali patungan. Tak seberapa, semoga cukup untuk bekal perjalanan pulang.

“Sesama muslim adalah saudara; tidak boleh mendzalimi dan menyakitinya. Barangsiapa selalu menolong saudaranya maka Allah akan menolongnya. Dan barangsiapa meringankan penderitaan saudaranya maka Allah akan meringankan penderitaannya pada hari Kiamat. Dan barangsiapa menutupi aib saudaranya maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat.” (HR. Bukhari).

Ibu dan Dimas tersenyum senang sekali, "Alhamdulillah, kita pulang dek. Besok bisa ketemu mbak sama mbah di rumah. Makasi ya mbak, nanti kalau ada rejeki lebih dan ada kesempatan ke Jakarta lagi, saya main ke asrama mbak, ngembaliin uangnya. Saya do'akan sukses ya kuliahnya."

-I trust you, mom. Really trust you.-

"Iya bu, sama-sama. Hati-hati di jalan. Dimas pasti seneng ya, mau ketemu kakak sama nenek?"
"Iya kak," jawabnya senang.
Setelah mengemasi tas dan dagangannya, ibu dan Dimas berpamitan. Ucapan terimakasih pun mengalir lagi, larut dengan haru yang membiru.

Ya Rabb, ternyata di luar sana, masih banyak yang membutuhkan uluran tangan ini. Meski hanya dengan jabat tangan dan seuntai senyum yang tulus ikhlas bagi mereka semua.

Ya Rabb, ternyata di luar sana, masih banyak yang tak jelan hidupnya, tak menentu keadaannya. Mereka yang entah dalam senang, sedih, sehat, maupun sakit, berjuang melawan kerasnya hidup.

Ya Rabb, ternyata di luar sana, akan selalu ada jalan bagi mereka yang percaya, Engkau ada dan akan selalu melindungi hambaNya. Dalam dekap erat penuh cinta dan bahagia.

Ya Rabb, terimakasih atas pelajaran yang telah Kau beri. Atas setiap detik yang berlalu dengan penuh makna. Begitu meruginya, aku yang masih sering menyia-nyiakan waktu yang kupunya.

Jalanku masih panjang, terbentang. Dan mulailah sadari, apakah yang telah, yang sedang, dan yang akan kita lakukan untuk hari ini?

"Makasih ya Kak.. Dimas pulang dulu," sambil mencium tanganku, Dimas berceloteh.

Dan dari bawah, Dimas berteriak, kepalanya melihat ke arah kami di lantai dua.
"Semoga dibales sama Allah kak!!"

Bibir tersenyum dan hatipun menangis. Tidak, aku tak boleh lengah.
Pelajaran yang kudapat waktu kuliah: Tak boleh bersimpati, tapi harus berempati.
Semoga ibu dan Dimas dalam keadaan yang lebih baik sekarang, di manapun mereka berada. Amin.


What a nice story to remember, :')

2 komentar:

nita prasasti mengatakan...

saya mrinding berkali-kali pas baca ini..subhanalloh..barakallohu fiikum ukhty..=')

Nurmita mengatakan...

iya nita, itu yang pernah terjadi..
sepertinya, kita harus berusaha memaknai setiap hal di sekitar kita. sekecil apapun itu.. =)

Posting Komentar