Surat yang saya buat dalam semalam. Lalu saya membagi tugas dengan teman saya yang dua orang tadi, untuk memforward sms ke wakil dari 18 kelompok diskusi, yang tugasnya adalah menginformasikan kepada teman2 di kelompoknya terkait tujuan hal ini. Dan kalau bersedia untuk berpartisipasi, silakan menandatangani lampiran yang ada di masing2 surat pernyataan tersebut.
Singkatnya, surat pernyataan yang telah ditandatangani oleh 5 orang wakil akan difotokopi 18 rangkap, yang akan dibagikan ke wakil kelompok diskusi. Bersama dengan surat pernyataan, akan dilampirkan form persetujuan teman2 di masing2 kelompok. Kebetulan hari senin diskusi dari jam8-10. Jam 10 ujian EKG. Masih ada waktu pagi hari.
Saya harap2 cemas, sangat cemas. Gimana tidak? Kalau langkah saya ini salah, teman2 angkatan juga menanggung akibatnya. Terbayang wajah dokter2 itu.. Seraaaaam..
Dua orang teman saya itu yang akan mengeprint surat, lalu saya akan fotokopi. Sejak semalam, tergambar dalam pikiran saya, saya diskusi jam8, tak ada kuliah pagi.
Sesampainya di kampus, jam 7, saya langsung menuju parasit, duduk di depan lab menunggu dua orang teman saya tersebut. Saya deg-degan, karena tak punya banyak waktu. Tapi berusaha tetap terlihat tenang dan bersahaja (hehe).
Sudah setengah jam berlalu, sms saya tak dibalas. Saya jadi khawatir ada apa2.
Yang anehnya lagi, kok parasit masih sepi sekali, padahal biasanya jam segini sudah ramai siap2 mau diskusi jam8.
15 menit kemudian, seorang teman datang. He shocked me!
"Lhoh en, bolos kuliah ya?"
"Lhoh, emang ada kuliah ya?"
"Adaaa, kalo gue emang bolos. Males dateng pagi2."
"Hwaaa, aku g ada niatan bolos, tapi g liat jadwaaal. Kirain masuk jam8."
"Ya ampun. Dari kapan di sini?"
"Jam 7."
"Hahahaha" -____-
Itu kejadian konyol di pagi hari. Lalu jam 8 tepat, parasit mulai ramai, teman2 yang usai kuliah. Heboh lah mereka.
Hiks. Itu kali kedua atau ketiga saya bolos kuliah di semester 4. (saya jarang bolos lhoh)
Lalu datanglah teman yang saya nanti2 itu.
"Gimana? Udah diprint suratnya?"
Jeng jeng jeng, hampir terisak. Jam sekian, fasil diskusi sudah lengkap di ruang diskusi masing2. Masak saya mau cabut lagi...
Bismillah.
Akhirnya saya diskusi. Saya hanya bisa pasrah, rencana semalam pupus sudah. Tak mungkin lagi saya dapat tanda tangan, tak mungkin lagi saya berjuang dalam waktu yang singkat ini. Saya merasa buntu ya Allah. Haruskah saya diam saja? Tak adakah yang bisa saya usahakan?
Terkadang saya memang merasa sulit untuk percaya pada orang lain, tapi saya selalu berusaha untuk percaya. Karena ketika saya menganggap saya bisa menyelesaikan semuanya sendiri, itu artinya saya egois dan tak menghargai orang lain. Percayalah, ini hanya karena salah paham.
Saya tak tenang, selama diskusi saya banyak diam. Saya berpikir, apa lagi yang bisa saya lakukan??
Diskusi selesai jam sembilan lima belas. Teman-teman sekelompok masih ngobrol ini itu seusai diskusi. Saya ga kuaaat.
Diajak bicara saya cuma senyum. Ditanya saya bilang g ada apa2.
Akhirnya mereka bertanya, "Enni kenapa?"
Saya langsung kabur dari ruang diskusi, setengah lari. Ya Robbi, kenapa air mata ini tak bisa ditahan lagi. Tanpa sadar, kaki saya melangkah menuju mushola. Mungkin karena di sana saya merasa Allah lebih dekat. :')
Saya dengar, teman saya masih memanggil2, "Enni, enni...!"
Saya terduduk di depan mushola, diapit oleh dua orang yang menyusul tersebut.
Menahan tangis, menghapus bekas air mata yang jatuh di jalan.
"Enni kenapa?"
"Ga ada apa2.."
"Ga en, enni harus cerita."
Meledak dalam hening.
"Aku ga tau lagi harus gimana. Aku g mau pasrah, aku tau aku masih bisa berbuat sesuatu. Tak peduli, teman2 akan pikir aku kurang kerjaan. Tapi selama ini untuk kebaikan, aku akan perjuangkan."
"Iya enn, kita setuju, kita semua pasti akan bantu."
Hingga akhirnya ada yang mengusulkan.
"Gini aja en, sekarang kan surat pernyataannya udah ada. Form tanda tangan teman2 juga ada. Mending sekarang kita minta tanda tangan ke lima orang itu trus minta tanda tangan ke temen2 yang se-kloter ujian sama enni."
Yap, karena mendesak, jadi hanya persetujuan teman2 satu kloter yang sangat diperlukan.
Meskipun banyak pertanyaan, tapi semua teman2 paham, dan sangat mendukung. Responnya sangat positif.
Bahkan Ketua Angkatan saya sangat mendukung.
"Gimana En? Mana yang harus gue tandatangani? Semangat ya! Pokoknya kalo ada apa2, atau ada masalah, langsung hubungi gue."
Alhamdulillah sudah sebagian teman menandatangani form sederhana tersebut. Setidaknya, kalau kejadian muslimah menjadi OP non muslimah lagi, saya punya bukti persetujuan untuk menolak.
Bahkan beberapa teman yang muslimah menanyakan.
"En gimana ni? Aku takut."
"Tenang, aku udah punya ini."
Saya khawatir bukan main. Saya cemas. Saya mencemaskan teman-teman saya. Kalau apa yang saya bayangkan terjadi pada saya, saya tegas akan menolak. Tapi bagaimana kalau terjadi pada teman saya yang mereka segan menolak atau terlalu bertoleransi?
Saya bersama 27 orang teman saya (4 kelompok untuk satu kloter) dikarantina di dalam lab parasit. Ujian diadakan di skill lab parasit, dipanggil secara acak 4 orang 4 orang.
Yang lain sibuk belajar, mengulang teori pemasangan EKG. Saya masih berjuang meminta teman2 yang belum mengisi form untuk mengisi.
Ya Allah, mungkin mereka heran liat saya ya. Kenapa saya sebegitu kekeuh nya melakukan hal semacam ini? :'(
Teman-teman perempuan berkumpul di ujung, yang laki2 di ujung lainnya. Saya di tengahnya, ditemani beberapa teman yang berusaha meyakinkan dan menenangkan.
Sejauh ini, masih baik2 saja. Empat orang dipanggil, lalu dipanggil lagi, dan lagi. Belum kejadian. Kalau sampai kejadian, saya sudah pesan ke mereka, langsung bilang ke saya.
Jujur, pikiran saya kacau saat itu. Impuls nya konslet.
Hingga saat dipanggil nama saya. Enninurmita Hazrudia. Sejak masuk ke lorong ruang skill lab, Bu Frida sudah ngetag saya. Dari jauh beliau melambai menyuruh saya masuk ke ruang yang beliau jaga.
Tapi eh tapi, kaget bukan main waktu itu, setelah saya melihat seorang teman saya yang non muslim ada di dalam. Pintu pun ditutup oleh Bu Frida. Saya semakin kaget.
Tak bisa berpikir lagi, di dalam saya akan jadi OP atau jadi PEMERIKSA ya??
Saya terus berpikir, saya akan jadi OP. Spontan saya berkata,
"Bu Frida, saya mau tuker boleh?"
"Tuker ke mana? Gak papa, di sini aja sama ibu ya."
"Tapi bu, saya maunya sama yang muslim."
"Kenapa? Di sini kan ada ibu, gak papa. Nanti dibantuin."
"Bukan bu, saya maunya sama yang muslim aja."
Bu Frida keluar, membuka pintu ruang sebelah. Tapi karena teman di sebelah sudah membuka ba*u-nya, terpaksa saya tak bisa pindah.
"Yang di sebelah udah mulai, kamu ga bisa pindah."
"Tapi bu, saya mau pindah aja. Saya ga bisa di sini bu."
"Udah gak papa ya. Kalo g mau, nanti malah ga ujian."
Heboh di luar.
Bapak2 yang manggil giliran, "Kenapa bu?"
Bu Frida, "Ini g mau ujian. Panggil satu orang lagi pak."
"Ga bisa, udah kamu buat surat pernyataan aja g mau ikut ujian. Kalo udah, bilang ke ibu biar ditanda tangani. Trus kamu ngadep ke kodik faal. Nanti kasusnya kayak temen kamu yang satu itu, g usah ujian aja."
(Kodik Faal?? Jeng jeng??)
"Tapi tadi ga mau."
"Udah kamu keluar aja kalo gitu."
"Nanti saya dipanggil lagi ya bu?"
Teman saya yang menggantikan datang.
"Kamu masuk dulu ya."
"Bu Frida, kalau bu Frida mau buktinya, saya ada surat pernyataan yang sudah dibuat dan isinya temen2 semua setuju kalo kita maunya dipisah yang muslimah sama non muslimah."
Bu Frida terdiam, tak tahu harus bicara apa saat saya menyodorkan surat yang sudah agak lecek tersebut.
"Udah kamu tunggu di luar aja sana."
"Baik bu."
Berharap akan dipanggil lagi, saya menuju ke dalam ruang karantina.
Teman-teman kaget.
"Kenapa? Tadi sama siapa?"
Tapi mereka semua baik, berusaha menenangkan saya.
"Tenang en, pasti boleh ujian kok. Nanti kita bilangin sama-sama." (terharu)
"Iya, makasi ya."
Bapak pengabsen datang lagi, lalu saya tanya.
"Bapak, jadi saya boleh ikut ujian kan pak?"
"Kamu enni tadi ya?"
"Makasi ya pak."
Beberapa saat kemudian..
"Enni, kamu dipanggil bu Frida," kata Bapak tadi.
Lalu saya dipanggil di putaran terakhir. Saya baru sadar. Ketika kita dipanggil masuk, itu saatnya kita jadi OP, lalu setelah kita memasang EKG pada teman kita, barulah giliran kita jadi OP teman kita selanjutnya. Begitu seterusnya.
Tapi alhamdulillah, karena kejadian di atas. Saya tidak menjadi OP, saya aman, karena saya menjadi urutan terakhir.
Selesai ujian, saya mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya pada bu Frida yang sudah sangat baik.
Tanpa saya ketahui, Bu Frida memahami dan merancang semuanya.
Dan semakin saya sadari, Allah begitu baiknya. Merencanakan setiap skenario yang terbaik dan tepat pada waktunya. Ada hikmahnya.
Seusai ujian, teman-teman bilang.
"Enni, harusnya tadi kalo enni ikut ujian di awal juga gak papa ya. Kan enni bakalan meriksa dia bukan diperiksa."
"Iya alhamdulillah, makasi ya temen2."
Lalu seorang teman saya yang beragama Budha, memanggil saya.
"Enni, mau cerita."
"Oh gitu.. Tapi dia nya g apa2 kan?"
"Tapi aku g tenang enni.. Maaf yaa.. Aku juga udah minta maaf kok ke dia.."
"Iya Li, g dosa kok. Kan tadi ga sadar, lupa.." hehe.
"Makasi enni."
Seusai perjuangan panjang tersebut, teman2 bertanya.
"Enni gimana tadi?"
Lalu saya ceritakan dari awal hingga akhir, pada semua yang bertanya. Teman, senior, junior.
Hwaaaa.. ^^
Berakhir sudah cerita Ujian KKD EKG. Kloter terakhir pun berjalan dengan baik, tapi tetap saja ada korban.
Sampai detik ini, beberapa bulan setelahnya, saya masih berpikir2. Perlukah isu ini naik ke BEM FKUI? Perlukah adanya advokasi formal dan legal yang menyertakan seluruh mahasiswa FKUI? Saya tak ingin, kejadian kucing-kucingan seperti ini terjadi tiap tahun.
Mungkin sederhana, tapi penting dan krusial. Kita bicarakan lebih lanjut, untuk perbaikan bersama.
Semangat junior2ku! Jangan menyerah. Kakak ada untuk kalian.
Dan terimakasih kepada teman-teman yang terlibat. Bersyukur mengenal kalian, berjuang bersama kalian. Subhaanallah. :)
Berubah bersama, bersama mengubah!!!